Sabtu, 29 Mei 2010

1. PBB dan Hak Asasi Manusia

Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan." 1 Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang. 2

Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.

Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu. 3

Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -- komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut -- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama." 4

Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah1angkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya." 5

Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -- suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.

Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas -- dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya -- namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.

Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.

Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.

Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.

Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu. 6

Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia.

Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -- yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi -- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.

Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).

Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. 7 Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.

Sejumlah kalangan mengusulkan agar suatu pernyataan hak asasi internasional di PBB hendaknya tidak berhenti menjadi sekadar suatu deklarasi melainkan juga tampil sebagai norma-norma yang didukung oleh prosedur penegakan yang mampu mengerahkan tekanan intemasional terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran. Rencana yang muncul di PBB adalah meneruskan Deklarasi Universal dengan perjanjian-perjanjian yang senada. Naskah Perjanjian Internasional (International Covenants) diajukan ke Majelis Umum guna mendapatkan persetujuan pada tahun 1953. Untuk menampung usulan mereka yang meyakini bahwa hak ekonomi dan hak sosial bukan merupakan hak asasi manusia yang sejati atau bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diterapkan dalam cara yang sama dengan penerapan hak-hak sipil dan politik, dua perjanjian dirancang, yaitu Perjanjian Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights) serta Perjanjian Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights).

Lantaran permusuhan dalam era Perang Dingin saat itu, dan tamatnya dukungan bagi perjanjian hak asasi manusia yang dibuat Amerika Serikat, gerakan yang didasarkan pada Perjanjian Internasional ditangguhkan dalam waktu yang lama. Perjanjian itu belum juga disetujui Majelis Umum sampai 1966. Selama tahun-tahun tersebut ketika Perjanjian itu tampaknya tak berpengharapan, PBB mengeluarkan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang lebih terbatas yang bersangkutan dengan topik-topik yang relatif tidak kontroversial seperti pemusnahan suku bangsa / genosid, perbudakan, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan, serta diskirminasi. 8 Perjanjian-perjanjian ini umumnya ditandatangani oleh sejumlah besar negara -- walau tidak ditandatangani oleh Amerika Serikat -- dan lewat mereka PBB mulai memetik sejumlah pengalaman untuk menjalankan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.

Pada selang waktu antara Deklarasi Universal yang terbit pada tahun 1948 dan persetujuan akhir Majelis Umum bagi Perjanjian Intemasional yang keluar pada tahun 1966, banyak negara Afrika dan Asia yang baru terbebas dari kekuasaan penjajah, memasuki PBB. Negara-negara ini umumnya bersedia mengikuti upaya berani untuk menegakkan hak asasi manusia, namun mereka memodifikasikannya guna mewakili kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri: mengakhiri kolonialisme, mengutuk eksploitasi negara-negara Barat terhadap negara-negara sedang berkembang, serta menghancurkan apartheid dan diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Perjanjian yang lahir pada tahun 1966 itu menyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut: keduanya berisi paragraf-paragraf yang serupa yang menegaskan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka sendiri. Hak atas kekayaan pribadi dan atas ganti rugi untuk kekayaan yang diambil oleh negara, yang tercantum dalam Deklarasi Universal, dihapuskan dari Perjanjian itu.

Setelah persetujuan dari Majelis Umum keluar pada tahun 1966, Perjanjian itu memerlukan tanda tangan dari tiga puluh lima negara untuk diikat di dalam daftar para penandatangan. Negara ketiga puluh lima menerakan tandatangan pada tahun 1976, dan Perjanjian itu kini berlaku sebagai hukum internasional.

Bagian berikut | Kembali ke atas

Bagian:
1 2 3


1. Untuk naskah "Declaration by United Nations" tertanggal 1 Januari 1942, lihat H.F. van Panhuys dkk., ed., International Organization and Integration (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), vol. 1A.

2. Lihat Douglas Lurton, Roosevelt's Foreign Policy, 1933 1941: Franklin D. Roosevelt's Unedited Speeches (Toronto: Longmans, Green, 1942), 324

3. Untuk sebuah tinjauan sejarah tentang Universal Declaration of Human Rights dan sebuah garis besar tentang isu-isu pokok yang diperdebatkan sebelum pemberlakuannya, lihat Louis B. Sohn, "A Short History of the United Nations Documents on Human Rights," di dalam Commission to Study the Organization of Peace, The United Nations and Human Rights: Eighteenth Report of the Commission (Dobbs Fery, New York: Transnational Publishers, 1968), 43-56; dicetak ulang di dalam Louis B. Sohn dan Thomas Buergenthal, ed., International Protection of Human Rights (Indianapolis: Bobbs Merrill, 1973), 505. Simak juga John P. Humphrey, Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984).

4. Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), 93-105.

5.Ian Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1971), 93-105.

6.Untuk bahasan tentang soal apakah pemerintah- pemerintah yang bukan merupakan pemerintah yang membawahi seseorang juga harus menjaga hak asasi orang tersebut, lihat James W. Nickel, "Human Rights and the Rights of Aliens", di dalam Peter G. Brown dan Henry Shue, ed., The Border That Joins (Totowa, New York: Rowman & Littlefield, 1983), 31-45.

7. Ihwal sistem Eropa, lihat Frede Castberg, The European Convention on Human Rights (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications, 1974); James E.S. Fawcett, The Application of the European Convention on Human Rights (Oxford: Clarendon Press, 1969); dan Secretary to the European Commission of Human Rights, Stock-Taking on the European Convention on Human Rights: A Periodic Note on the Concrete Results Achieved Under the Convention (Strasbourg: Dewan Eropa, 1979).

8. Sejumlah besar dari dokumendokumen ini dapat ditemukan di dalam Brownlie, ed., Basic Documents on Human Rights. Dokumen-dokumen yang relevan di sana termasuk Convention on the Prevention and Punishment of the Crimes of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosid, 1948), 116420; Slavery Convention (Konvensi tentang Perbudakan , 1926, diubah lewat Protocol, 1953), 121- 127; Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery (Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi serta Praktek yang Serupa dengan Perbudakan, 1956), 128-134; Convention Relating to the Status of Refugees (Konversi tentang Status Pengungsi, 1951), 135- 452; Convention Relating to the Status of Stateless Persons (Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan, 1954), 153- 169; International Convention of the Elimination of All Forms of Racial Discriminations (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1966), 237-252; dan Declaration on Elimination of Discrimination Against Women (Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, 1967), 183-187



Judul asli:
Making Sense of Human Rights
Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human Rights
By James W. Nickel © The Regents of the University of California, 1987

Penerjemah: Titis Eddy Arini
Diterbitkan pertama kali dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, 1996.



. Ciri-Ciri Gagasan Hak Asasi Manusia Kontemporer

Kendati ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini.

Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus intemasional.

Egaliterianisme

Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis merupakan perjuangan sentral yang lahir pada abad kita. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia. 9

Kedua, egalitarianisme yang terdapat dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia kontemporer dapat dilihat dalam pencantuman hak kesejahteraan. Konsepsi-konsepsi hak politik terdahulu biasanya memandang fungsi hak politik adalah untuk menjaga agar pemerintah tidak mengganggu rakyat. Penyalah gunaan kekuasaan politik dinilai sebagai soal pelanggaran pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, dan bukan merupakan soal kegagalan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kewajiban-kewajiban yang lahir dari hak-hak ini sebagian besar adalah kewajiban negatif (negative duties) -- yaitu kewajiban-kewajiban untuk menahan diri, atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif (positive duties) sebagian besar ditemukan dalam kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal.

Hak atas perlindungan hukum (hak atas sidang pengadilan yang adil, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan dari penganiayaan dan dari hukuman kejam) dipandang sebagai penangkal bagi penyalah gunaan sistem hukum. Penyalahgunaan-penyalahgunaan sistem hukum ini mencakup manipulasi sistem hukum untuk menguntungkan sekutu serta merugikan musuh penguasa, memenjarakan lawan politik, dan memerintah lewat teror.

Hak atas privasi (kehidupan pribadi) dan otonomi (kebebasan dari intervensi terhadap rumah tangga dan korespondensi, kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan lapangan pekerjaan, serta kebebasan berkumpul atau berserikat) dilihat sebagai penangkal bagi intervensi terhadap wilayah pribadi, yang meliputi upaya pemerintah untuk mengawasi bidang kehidupan yang paling pribadi dan untuk mengontrol orang dengan membatasi di mana mereka boleh tinggal, bekerja, dan bepergian.

Hak atas partisipasi politik (hak atas kebebasan berekspresi, atas pengajuan petisi kepada pemerintah, atas pemberian suara, dan atas pencalonan diri untuk jabatan pemerintahan) dinilai sebagai penangkal bagi penyalahgunaan yang berupa upaya untuk menafikan keluhan, menekan perbedaan pendapat dan oposisi, melumpuhkan pembentukan golongan pemilih yang terdidik, serta memanipulasi sistem pemilihan umum guna mempertahankan kekuasaan. Pencegahan berbagai penyalahgunaan ini terutama mengharuskan pemerintah untuk membiarkan rakyatnya bergerak leluasa. Namun lebih dari itu, pemenuhan hak-hak ini mengharuskan adanya pemberian keuntungan positif seperti sidang pengadilan yang adil, pemilihan umum yang bebas, dan perlindungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh polisi dan pegawai pemerintah lainnya.

Tetapi sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Marx dan kaum sosialis lainnya, sekalipun pemerintah dibatasi agar tidak melakukan penyalahgunaan yang baru didaftar tersebut, namun problem sosial dan ekonomi seperti perbudakan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi tidak bakal bergeming karenanya. Jadi sejak tampilnya Marx, gerakan bagi perubahan sosial mulai menaruh kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi ini, maupun terhadap pelanggaran hak-hak politik. Hasilnya adalah upaya untuk memperluas lingkup kosakata hak dengan memasukkan problem-problem tersebut ke dalam agenda hak asasi manusia.

Sarana untuk menyalurkan pelayanan-pelayanan yang dituntut oleh hak-hak ini adalah negara kesejahteraan modern, suatu sistem politik yang menggunakan kewenangan perpajakannya atau kontrol ekonominya untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna memasok pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang esensial bagi seluruh penduduk yang memerlukannya. Kalangan Marxis dan sosialis tidak sendirian dalam upaya pengembangan hak-hak kesejahteraan: "empat kebebasan" dari Roosevelt, misalnya, juga mencakup kebebasan dari hidup berkekurangan.

Rupanya terkandung tiga keyakinan dalam perkembangan tersebut, di mana problem-problem sosial dan ekonomi mulai dilihat sebagai problem-problem yang harus dipecahkan pemerintah dan karenanya, jika tetap tak terpecahkan juga, dipandang sebagai pelanggaran hak-hak politik. Salah satu dari keyakinan ini adalah bahwa kemiskinan; eksploitasi, dan diskriminasi merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia, yang sama seriusnya dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak-hak politik tradisional.

Keyakinan kedua adalah bahwa penderitaan manusia dan ketimpangan yang parah bukan merupakan hal yang tak terhindarkan, melainkan merupakan hasil yang lahir dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang dapat diubah sehingga dapat dikenai kontrol moral atau politik. Salah satu dasar bagi pandangan optimis ini adalah tingginya tingkat kemakmuran yang dapat dicapai di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia serta kemunculan sistem yang secara politis efektif untuk memberlakukan hak-hak kesejahteraan di negara-negara ini.

Keyakinan terakhir adalah bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial benar-benar tidak dapat dipisahkan -- atau bahwa kekuasaan pemerintah sering diperalat untuk menciptakandan mempertahankan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Andaikata pemerintah ikut mendukung suatu sistem ekonomi yang memberikan kekayaan berlimpah bagi segelintir orang dan sebaliknya membiarkan sejumlah besar orang berada dalam kesengsaraan, dan andaikata sistem semacam itu sebenarnya bukannya tak terhindarkan dan sebaliknya dapat digantikan oleh sistem yang jauh lebih mendukung bagi kesejahteraan dan martabat setiap orang, masuk akal tampaknya bila pemerintah dapat dituduh atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan yang lahir dari sistem yang ada.

Karena keyakinan-keyakinan ini sudah mulai meluas, pemerintah dibebani tugas untuk menyediakan perbaikan-perbaikan lewat pemanfaatan sumberdaya dan kewenangan redistributifnya.

Reduksi Individualisme

Manifesto-manifesto hak yang mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati. Dokumen-dokumen baru memandang manusia sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, bukan sebagai individu yang terisolasi yang musti mengajukan alasan-alasan terlebih dulu agar dapat memasuki masyarakat sipil. Deklarasi Universal, misalnya, menyatakan bahwa "Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun Negara." Dalam Perjanjian Internasional, hak-hak kelompok telah dimasukkan di dalam kerangka hak asasi manusia dengan memberikan tempat terhormat bagi hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka. Selanjutnya, hak asasi manusia tidak lagi erat dikaitkan dengan teori kontrak sosial, meski John Bawls telah mencoba untuk membangun kembali kaitan ini. 10 Di dalam dokumen-dokumen mutakhir hak asasi manusia hanya terdapat sedikit acuan pada dasar-dasar filosofis. Upaya-upaya selepas perang untuk merumuskan norma-norma hak asasi manusia internasional telah mengarah pada perpecahan filosofis dan ideologis yang tak dapat dipulihkan kembali. Dalam upaya menghimpun dukungan sebanyak mungkin untuk gerakan hak asasi manusia, landasan filosofis bagi hak asasi manusia sayangnya dibiarkan tak terumuskan.



3. Hak-Hak Internasional

Perbedaan ketiga antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi. 11 Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap. 12

Saat ini sistem paling efektif bagi penegakan internasional terhadap hak asasi manusia ditemukan di Eropa Barat, yakni di dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi ini memberikan sebuah pernyataan hak asasi manusia, Komisi Hak Asasi (Human Rights Commission) untuk memeriksa keluhan-keluhan, dan Mahkamah Hak Asasi Manusia (Human Rights Court) untuk menangani persoalan-persoalan interpretasi. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Eropa harus mengakui kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menerima, memeriksa, dan menengahi keluhan-keluhan dari negara-negara anggota lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban terhadap keluhan-keluhan yang diajukan oleh individu bersifat pilihan, sebagaimana prosedur untuk merujukkan seluruh persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh komisi itu kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia.

Komisi Hak Asasi Manusia, yang menerima beratus-ratus keluhan setiap tahun mempelajari apakah keluhan itu dapat diterima, serta memeriksa dan menengahi keluhan yang memang dapat diterima. Negosiasi yang didasari oleh semangat persahabatan dengan pihak-pihak yang terlibat merupakan prosedur standar, namun bila ini gagal, suatu perkara dapat diajukan ke Mahkamah Hak Asasi Manusia atau ke Komite Menteri (Committee of Ministers) di Dewan Eropa. Komisi dan Mahkamah hak asasi manusia itu saat ini sudah menangani banyak kasus serta telah menyusun kerangka prosedur dan peraturan yang cukup banyak. Secara umum mereka telah maju dengan sangat hati-hati, namun kehati-hatian ini telah dihargai lewat kepercayaan negara-negara anggotanya terhadap integritas sistem ini dan oleh kesediaan terus-menerus dari badan-badan tersebut untuk menerima pembatasan kedaulatan yang disyaratkan oleh sistem ini.

Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang dibentuk di PBB, juga menyediakan prosedur -- meski lebih lemah ketimbang prosedur dalam Konvensi Eropa -- bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian ini menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) untuk mengawasi kepatuhan, sebuah Komite dengan tiga fungsi pokok. Fungsi pertama adalah untuk mengkaji laporan-laporan dari negara-negara yang tunduk pada Perjanjian itu yang disyaratkan guna menyampaikan "langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui disini dan mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak ini". Fungsi kedua adalah untuk menerima, mempertimbangkan, dan menengahi keluhan dari suatu anggota bahwa anggota lainnya melanggar ketentuan-ketentuan Perjanjian tersebut. Suatu negara berkedudukan rawan di hadapan tuntutan-tuntutan semacam itu hanya jika ia menerima kewenangan komite itu untuk menerima keluhan. Hanya enam belas dari delapan puluh negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu yang bersedia bertanggung jawab terhadap keluhan-keluhan yang diajukan ke Komite. Fungsi ketiga Komite ini adalah untuk menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari individu-individu yang berdiam di negara yang melanggar kewajiban-kewajibannya. Protokol yang bersifat pilihan yang menunjukkan kesediaan Komite Hak Asasi Manusia untuk menerima keluhan-keluhan individual semacam itu telah mendapatkan tanda tangan yang cukup untuk dapat diberlakukan. Masih harus dilihat seberapa efektif Komite ini menegakkan norma-norma Perjanjian tersebut, namun jelas bahwa hanya sedikit, jikalau memang ada, sanksi berat yang ditetapkannya.

Sistem perlindungan hak asasi manusia serupa itu adadi dalam OAS (Organization of American States / Organisasi Negara-Negara Amerika). Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Commission on Human Rights) didirikan pada 1959 dan menjadi organ resmi OAS pada tahun 1970. Komisi ini memainkan peran penting dalam usaha untuk menyelidiki serta membeberkan pelanggaran hak di Amerika Latin sepanjang dekade tujuh puluhan. Pada 1969 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) disahkan lewat sebuah konferensi khusus yang disponsori OAS. 13

Konvensi Amerika memperoleh ratifikasi yang cukupuntuk mulai diberlakukan pada tahun 1978. Konvensi ini melahirkan dua institusi, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights). Komisi ini merupakan pengganti bagi komisi yang pernah dibentuk pada 1959 dan komisi ini berpijak pada piagam OAS maupun pada konvensi tersebut. Ini menggabungkan peranan pendahulunya dengan fungsi-fungsi yang diberikan konvensi itu. Mahkamah tersebut menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada 1979 dan sejak itu sudah mengeluarkan sejumlah pendapat yang bersifat Saran. Pada Maret 1986 Mahkamah ini menerima kasus litigasi pertamanya. 14

Mahkamah ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipilih oleh negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu. Meski sistem Inter-Amerika mirip dengan sistem Eropa dalam banyak hal, konteks sosial dan politik bagi pengoperasiannya sama sekali berbeda. Apalagi, problem hak asasi manusia yang dihadapinya jauh lebih berat. Berdasarkan alasan-alasan- ini, evolusinya bakal menarik untuk disimak. Di Afrika, OAU (Organization of African Unity / Organisasi Persatuan Afrika) baru-baru ini mengesahkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples' Rights). 15 Namun, Di Timur Tengah dan di Asia, institusi-institusi regional yang dibentuk bagi pengembangan hak asasi manusia belum muncul sama sekali.

3. Hak-Hak Internasional

Perbedaan ketiga antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi. 11 Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap. 12

Saat ini sistem paling efektif bagi penegakan internasional terhadap hak asasi manusia ditemukan di Eropa Barat, yakni di dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi ini memberikan sebuah pernyataan hak asasi manusia, Komisi Hak Asasi (Human Rights Commission) untuk memeriksa keluhan-keluhan, dan Mahkamah Hak Asasi Manusia (Human Rights Court) untuk menangani persoalan-persoalan interpretasi. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Eropa harus mengakui kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menerima, memeriksa, dan menengahi keluhan-keluhan dari negara-negara anggota lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban terhadap keluhan-keluhan yang diajukan oleh individu bersifat pilihan, sebagaimana prosedur untuk merujukkan seluruh persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh komisi itu kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia.

Komisi Hak Asasi Manusia, yang menerima beratus-ratus keluhan setiap tahun mempelajari apakah keluhan itu dapat diterima, serta memeriksa dan menengahi keluhan yang memang dapat diterima. Negosiasi yang didasari oleh semangat persahabatan dengan pihak-pihak yang terlibat merupakan prosedur standar, namun bila ini gagal, suatu perkara dapat diajukan ke Mahkamah Hak Asasi Manusia atau ke Komite Menteri (Committee of Ministers) di Dewan Eropa. Komisi dan Mahkamah hak asasi manusia itu saat ini sudah menangani banyak kasus serta telah menyusun kerangka prosedur dan peraturan yang cukup banyak. Secara umum mereka telah maju dengan sangat hati-hati, namun kehati-hatian ini telah dihargai lewat kepercayaan negara-negara anggotanya terhadap integritas sistem ini dan oleh kesediaan terus-menerus dari badan-badan tersebut untuk menerima pembatasan kedaulatan yang disyaratkan oleh sistem ini.

Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang dibentuk di PBB, juga menyediakan prosedur -- meski lebih lemah ketimbang prosedur dalam Konvensi Eropa -- bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian ini menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) untuk mengawasi kepatuhan, sebuah Komite dengan tiga fungsi pokok. Fungsi pertama adalah untuk mengkaji laporan-laporan dari negara-negara yang tunduk pada Perjanjian itu yang disyaratkan guna menyampaikan "langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui disini dan mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak ini". Fungsi kedua adalah untuk menerima, mempertimbangkan, dan menengahi keluhan dari suatu anggota bahwa anggota lainnya melanggar ketentuan-ketentuan Perjanjian tersebut. Suatu negara berkedudukan rawan di hadapan tuntutan-tuntutan semacam itu hanya jika ia menerima kewenangan komite itu untuk menerima keluhan. Hanya enam belas dari delapan puluh negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu yang bersedia bertanggung jawab terhadap keluhan-keluhan yang diajukan ke Komite. Fungsi ketiga Komite ini adalah untuk menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari individu-individu yang berdiam di negara yang melanggar kewajiban-kewajibannya. Protokol yang bersifat pilihan yang menunjukkan kesediaan Komite Hak Asasi Manusia untuk menerima keluhan-keluhan individual semacam itu telah mendapatkan tanda tangan yang cukup untuk dapat diberlakukan. Masih harus dilihat seberapa efektif Komite ini menegakkan norma-norma Perjanjian tersebut, namun jelas bahwa hanya sedikit, jikalau memang ada, sanksi berat yang ditetapkannya.

Sistem perlindungan hak asasi manusia serupa itu adadi dalam OAS (Organization of American States / Organisasi Negara-Negara Amerika). Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Commission on Human Rights) didirikan pada 1959 dan menjadi organ resmi OAS pada tahun 1970. Komisi ini memainkan peran penting dalam usaha untuk menyelidiki serta membeberkan pelanggaran hak di Amerika Latin sepanjang dekade tujuh puluhan. Pada 1969 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) disahkan lewat sebuah konferensi khusus yang disponsori OAS. 13

Konvensi Amerika memperoleh ratifikasi yang cukupuntuk mulai diberlakukan pada tahun 1978. Konvensi ini melahirkan dua institusi, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights). Komisi ini merupakan pengganti bagi komisi yang pernah dibentuk pada 1959 dan komisi ini berpijak pada piagam OAS maupun pada konvensi tersebut. Ini menggabungkan peranan pendahulunya dengan fungsi-fungsi yang diberikan konvensi itu. Mahkamah tersebut menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada 1979 dan sejak itu sudah mengeluarkan sejumlah pendapat yang bersifat Saran. Pada Maret 1986 Mahkamah ini menerima kasus litigasi pertamanya. 14

Mahkamah ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipilih oleh negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu. Meski sistem Inter-Amerika mirip dengan sistem Eropa dalam banyak hal, konteks sosial dan politik bagi pengoperasiannya sama sekali berbeda. Apalagi, problem hak asasi manusia yang dihadapinya jauh lebih berat. Berdasarkan alasan-alasan- ini, evolusinya bakal menarik untuk disimak. Di Afrika, OAU (Organization of African Unity / Organisasi Persatuan Afrika) baru-baru ini mengesahkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples' Rights). 15 Namun, Di Timur Tengah dan di Asia, institusi-institusi regional yang dibentuk bagi pengembangan hak asasi manusia belum muncul sama sekali.



Sumber: http://jakarta.usembassy.gov/ptp/hakasasi3.html

Jumat, 28 Mei 2010

sejarah pecak silat bag. 2

Sejarah dan perkembangannya

Pencak Silat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia berkembang sejalan dengan sejarah masyarakat Indonesia. Dengan aneka ragam situasi geografis dan etnologis serta perkembangan zaman yang dialami oleh bangsa Indonesia, Pencak Silat dibentuk oleh situasi dan kondisinya. Kini Pencak Silat kita kenal dengan wujud dan corak yang beraneka ragam, namun mempunyai aspek-aspek yang sama.

Pencak Silat merupakan unsur-unsur kepribadian bangsa Indonesia yang dimiliki dari hasil budi daya yang turun temurun. Sampai saat ini belum ada naskah atau himmpunan mengenai sejarah pembelaan diri bangsa Indonesia yang disusun secara alamiah dan dapat dipertanggung jawabkan serta menjadi sumber bagi pengembangan yang lebih teratur.

Hanya secara turun temurun dan bersifat pribadi atau kelompok latar belakang dan sejarah pembelaan diri inti dituturkan. Sifat-sifat ketertutupan karena dibentuk oleh zaman penjajahan di masa lalu merupakan hambatan pengembangan di mana kini kita yang menuntut keterbukaan dan pemassalan yang lebih luas.
[sunting] A. Perkembangan pada zaman sebelum penjajahan Belanda

Nenek moyang kita telah mempunyai peradaban yang tinggi, sehingga dapat berkembang menjadi rumpun bangsa yang maju. Daerah-daerah dan pulau-pulau yang dihuni berkembnag menjadi masyarakat dengan tata pemerintahan dan kehidupan yang teratur. Tata pembelaan diri di zaman tersebut yang terutama didasarkan kepada kemampuan pribadi yang tinggi, merupakan dasar dari sistem pembelaan diri, baik dalam menghadapi perjuangan hidup maupun dalam pembelaan berkelompok.

Para ahli pembelaan diri dan pendekar mendapat tempat yang tinggi di masyarakat. Begitu pula para empu yang membuat senjata pribadi yagn ampuh seperti keris, tombak dan senjata khusus. Pasukan yang kuat di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta kerajaan lainnya di masa itu terdiri dari prajurit-prajurit yang mempunyai keterampilan pembelaan diri individual yang tinggi. Pemukupan jiwa keprajuritan dan kesatriaan selalu diberikan untuk mencapai keunggulan dalam ilmu pembelaan diri. Untuk menjadi prajurit atau pendekar diperulan syarat-syarat dan latihan yang mendalam di bawah bimbingan seorang guru. Pada masa perkembangan agama Islam ilmu pembelaan diri dipupuk bersama ajaran kerohanian. Sehingga basis-basis agama Islam terkenal dengan ketinggian ilmu bela dirinya. Jelaslah, bahwa sejak zaman sebelum penjajahan Belanda kita telah mempunyai sistem pembelaan diri yang sesuai dengan sifat dan pembawaan bangsa Indonesia.
[sunting] B. Perkembangan Pencak Silat pada zaman penjajahan Belanda

Suatu pemerintahan asing yang berkuasa di suatu negeri jarang sekali memberi perhatian kepada pandangan hidup bangsa yang diperintah. Pemerintah Belandan tidak memberi kesempatan perkembangan Pencak Silat atau pembelaan diri Nasional, karena dipandang berbahaya terhadap kelangsungan penjajahannya. Larangan berlatih bela diri diadakan bahkan larangan untuk berkumpul dan berkelompok. Sehingga perkembangan kehidupan Pencak Silat atau pembelaan diri bangsa Indonesia yang dulu berakar kuat menjadi kehilangan pijakan kehidupannya. Hanya dengan sembunyi-sembunyi dan oleh kelompok-kelompok kecil Pencak Silat dipertahankan. Kesempatan-kesempatan yang dijinkan hanyalah berupa pengembangan seni atau kesenian semata-mata masih digunakan di beberapa daerah, yang menjurus pada suatu pertunjukan atau upacara saja. Hakekat jiwa dan semangat pembelaan diri tidak sepenuhnya dapat berkembang. Pengaruh dari penekanan di zaman penjajahan Belanda ini banyak mewarnai perkembangan Pencak Silat untuk masa sesudahnya.
[sunting] C. Perkembangan Pencak Silat pada pendudukan Jepang

Politik Jepang terhadap bangsa yang diduduki berlainan dengan politik Belanda. Terhadap Pencak Silat sebagai ilmu Nasional didorong dan dikembangkan untuk kepentingan Jepang sendiri, dengan mengobarkan semangat pertahanan menghadapi sekutu. Di mana-mana atas anjuran Shimitsu diadakan pemusatan tenaga aliran Pencak Silat. Di seluruh Jawa serentak didirkan gerakan Pencak Silat yang diatur oleh Pemerintah. Di Jakarta pada waktu itu telah diciptakan oleh para pembina Pencak Silat suatu olarhaga berdasarkan Pencak Silat, yang diusulkan untuk dipakai sebagai gerakan olahraga pada tiap-tiap pagi di sekolah-sekolah. Usul itu ditolak oleh Shimitsu karena khawatir akan mendesak Taysho, Jepang. Sekalipun Jepang memberikan kesempatan kepada kita untuk menghidupkan unsur-unsur warisan kebesaran bangsa kita, tujuannya adalah untuk mempergunakan semangat yang diduga akan berkobar lagi demi kepentingan Jepang sendiri bukan untuk kepentingan Nasional kita.

Namun kita akui, ada juga keuntungan yang kita peroleh dari zaman itu. Kita mulai insaf lagi akan keharusan mengembalikan ilmu Pencak Silat pada tempat yang semula didudukinya dalam masyarakat kita.
[sunting] D. Perkembangan Pencak Silat pada Zaman Kemerdekaan

Walaupun di masa penjajahan Belanda Pencak Silat tidak diberikan tempat untuk berkembang, tetapi masih banyak para pemuda yang mempelajari dan mendalami melalui guru-guru Pencak Silat, atau secara turun-temurun di lingkungan keluarga. Jiwa dan semangat kebangkitan nasional semenjak Budi Utomo didirikan mencari unsur-unsur warisan budaya yang dapat dikembangkan sebagai identitas Nasional. Melalui Panitia Persiapan Persatuan Pencak Silat Indonesia maka pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta terbentuklah IPSI yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro.

Program utama disamping mempersatukan aliran-aliran dan kalangan Pencak Silat di seluruh Indonesia, IPSI mengajukan program kepada Pemerintah untuk memasukan pelajaran Pencak Silat di sekolah-sekolah.

Usaha yang telah dirintis pada periode permulaan kepengurusan di tahun lima puluhan, yang kemudian kurang mendapat perhatian, mulai dirintis dengan diadakannya suatu Seminar Pencak Silat oleh Pemerintah pada tahun 1973 di Tugu, Bogor. Dalam Seminar ini pulalah dilakukan pengukuhan istilah bagi seni pembelaan diri bagnsa Indonesia dengan nama "Pencak Silat" yang merupakan kata majemuk. Di masa lalu tidak semua daerah di Indonesia menggunakan istilah Pencak Silat. Di beberapa daerah di jawa lazimnya digunakan nama Pencak sedangkan di Sumatera orang menyebut Silat. Sedang kata pencak sendiri dapat mempunyai arti khusus begitu juga dengan kata silat.

Pencak, dapat mempunyai pengertian gerak dasar bela diri, yang terikat pada peraturan dan digunakan dalam belajar, latihan dan pertunjukan.

Silat, mempunyai pengertian gerak bela diri yang sempurna, yang bersumber pada kerohanian yang suci murni, guna keselamatan diri atau kesejahteraan bersama, menghindarkan diri/ manusia dari bela diri atau bencana. Dewasa ini istilah pencak silat mengandung unsur-unsur olahraga, seni, bela diri dan kebatinan. Definisi pencak silat selengkapnya yang pernah dibuat PB. IPSI bersama BAKIN tahun 1975 adalah sebagai berikut :

Pencak Silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela/mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (manunggalnya) terhadap lingkungan hidup/alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
[sunting] Aspek dalam pencak silat
[sunting] Pencak Silat sebagai ajaran kerohanian

Umumnya Pencak Silat mengajarkan pengenalan diri pribadi sebagai insan atau mahluk hidup yang pecaya adanya kekuasaan yang lebih tinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya, Pencak Silat sebagai ajaran kerohanian/kebatinan diberikan kepada siswa yang telah lanjut dalam menuntut ilmu Pencak Silatnya. Sasarannya adalah untuk meningkatkan budi pekerti atau keluhuran budi siswa. Sehingga pada akhirnya Pencak Silat mempunyai tujuan untuk mewujudkan keselarasan/ keseimbangan/keserasian/alam sekitar untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, guna mengisi Pembangunan Nasional Indonesia dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang Pancasilais.
[sunting] Pencak Silat sebagai seni

Ciri khusus pada Pencak Silat adalah bagian kesenian yang di daerah-daerah tertentu terdapat tabuh iringan musik yang khas. Pada jalur kesenian ini terdapat kaidah-kaidah gerak dan irama yang merupakan suatu pendalaman khusus (skill). Pencak Silat sebagai seni harus menuruti ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan, keserasian antara wirama, wirasa dan wiraga.

Di beberapa daerah di Indonesia Pencak Silat ditampilkan hampir semata-mata sebagai seni tari, yang sama sekali tidak mirip sebagai olahraga maupun bela diri. Misalnya tari serampang dua belas di Sumatera Utara, tari randai di Sumatera Barat dan tari Ketuk Tilu di Jawa Barat. Para penari tersebut dapat memperagakan tari itu sebagai gerak bela diri yang efektif dan efisien untuk menjamin keamanan pribadi.dari ujang solok
[sunting] Pencak Silat sebagai olahraga umum

Walaupun unsur-unsur serta aspek-aspeknya yang terdapat dalam Pencak Silat tidak dapat dipisah-pisahkan, tetapi pembinaan pada jalur-jalur masing-masing dapat dilakukan. Di tinjau dari segi olahraga kiranya Pencak Silat mempunyai unsur yang dalam batasan tertentu sesuai dengan tujuan gerak dan usaha dapat memenuhi fungsi jasmani dan rohani. Gerakan Pencak Silat dapat dilakukan oleh laki-laki atau wanita, anak-anak maupun orang tua/dewasa, secara perorangan/kelompok.

Usaha-usaha untuk mengembangkan unsur-unsur olahraga yang terdapat pada Pencak Silat sebagai olahraga umum dibagi dalam intensitasnya menjadi :

* Olahraga rekreasi
* Olahraga prestasi
* Olahraga massal


Pada seminar Pencak Silat di Tugu, Bogor tahun 1973, Pemerintah bersama para pembina olahraga dan Pencak Silat telah membahas dan menyimpulkan makalah-makalah :

* 1. Penetapan istilah yang dipergunakan untuk Pencak Silat
* 2. Pemasukan Pencak Silat sebagai kurikulum pada lembaga-lembaga pendidikan
* 3. Metode mengajar Pencak Silat di sekolah
* 4. Pengadaan tenaga pembina/guru Pencak Silat untuk sekolah-sekolah
* 5. Pembinaan organisasi guru-guru Pencak Silat dan kegiatan Pencak Silat di lingkungan sekolah
* 6. Menanamkan dan menggalang kegemaran serta memassalkan Pencak Silat di kalangan pelajar/mahasiswa.

Sebagai tindak lanjut dari pemikiran-pemikiran tersebut dan atas anjuran Presiden Soeharto, program olahraga massal yang bersifat penyegaran jasmani digarap terlebih dahulu, yang telah menghasilkan program Senam Pagi Indonesia (SPI).
[sunting] Pencak Silat sebagai olahraga prestasi (olahraga pertandingan)

Pengembangan Pencak Silat sebagai olahraga & pertandingan (Championships) telah dirintis sejak tahun 1969, dengan melalui percobaan-percobaan pertandingan di daerah-daerah dan di tingkat pusat. Pada PON VIII tahun 1973 di Jakarta telah dipertandingkan untuk pertama kalinya yang sekaligus merupakan Kejuaraan tingkat Nasional yang pertama pula. Masalah yang harus dihadapi adalah banyaknya aliran serta adanya unsur-unsur yang bukan olahraga yang sudah begitu meresapnya di kalangan Pencak Silat. Dengan kesadaran para pendekar dan pembina Pencak Silat serta usaha yang terus menerus maka sekarang ini program pertandingan olahraga merupakan bagian yang penting dalam pembinaan Pencak Silat pada umumnya. Sementara ini Pencak Silat telah disebarluaskan di negara-negara Belanda, Belgia, Luxemburg, Perancis, Inggris, Denmark, Jerman Barat, Suriname, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru.
[sunting] Program pembinaan Pencak Silat

Pencak Silat sebagai budaya Nasional bangsa Indonesia mempunyai banyak ragam khas maisng-masing daerah, jumlah perguruan/aliran di segenap penjuru tanah air ini diperkirakan sebanyak 820 perguruan/aliran.

Oleh karena itu dirasakan perlu adanya pembinaan yang sistimatis untuk melestarikan warisan nenek moyang kita. Terlebih-lebih setelah Kungfu masuk IPSI, atas anjuran Pemerintah berdasarkan pertimbangan lebih baik Kungfu berada di dalam IPSI sehingga lebih mudah dalam mengadakan pengawasan dan pengendalian terhadapnya, sekaligus menasionalisasikan.

Standarisasi yang telah dirintis pembuatannya, hanyalah untuk jurus dasar bagi keperluan khusus olahraga dan bela diri. Sedangkan pengembangannya telah diserahkan kepad setiap perguruan yang ada. Sistem pembinaan yang dipakai oleh IPSI ialah setiap aspek yang ada dijadikan jalur pembinaan, sehingga jalur pembinaan Pencak Silat meliputi :

* 1. Jalur pembinaan seni
* 2. Jalur pembinaan olahraga
* 3. Jalur pembinaan bela diri
* 4. Jalur pembinaan kebatinan

Keempat jalur ini diolah, dengan saringan dan mesin sosial budaya, yaitu Pancasila.


source: wikipedia
Pencak silat atau silat (berkelahi dengan menggunakan teknik pertahanan diri) ialah seni bela diri Asia yang berakar dari budaya Melayu. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura tapi bisa pula ditemukan dalam berbagai variasi di berbagai negara sesuai dengan penyebaran suku Melayu, seperti di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh.

Induk organisasi pencak silat di Indonesia adalah IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa), adalah nama organisasi yang dibentuk oleh Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam untuk mewadahi federasi-federasi pencak silat di berbagai negara.

Sejarah

Tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke murid. Karena hal itulah catatan tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan. Kebanyakan sejarah silat dikisahkan melalui legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain. Seperti asal mula silat aliran Cimande yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang menyaksikan pertarungan antara harimau dan monyet dan ia mencontoh gerakan tarung hewan tersebut. Asal mula ilmu bela diri di Indonesia kemungkinan berkembang dari keterampilan suku-suku asli Indonesia dalam berburu dan berperang dengan menggunakan parang, perisai, dan tombak. Seperti yang kini ditemui dalam tradisi suku Nias yang hingga abad ke-20 relatif tidak tersentuh pengaruh luar.

Silat diperkirakan menyebar di kepulauan nusantara semenjak abad ke-7 masehi, akan tetapi asal mulanya belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku Melayu dalam pengertian yang luas,[1] yaitu para penduduk daerah pesisir pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, serta berbagai kelompok etnik lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa Melayu di berbagai daerah di pulau-pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lainnya juga mengembangkan sebentuk silat tradisional mereka sendiri. Dalam Bahasa Minangkabau, silat itu sama dengan silek. Sheikh Shamsuddin (2005)[2] berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu beladiri dari Cina dan India dalam silat. Bahkan sesungguhnya tidak hanya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena memang kebudayaan Melayu (termasuk Pencak Silat) adalah kebudayaan yang terbuka yang mana sejak awal kebudayaan Melayu telah beradaptasi dengan berbagai kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Cina, Arab, Turki, dan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan itu kemudian berasimilasi dan beradaptasi dengan kebudayaan penduduk asli. Maka kiranya historis pencak silat itu lahir bersamaan dengan munculnya kebudayaan Melayu. Sehingga, setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan yang dibanggakan. Sebagai contoh, bangsa Melayu terutama di Semenanjung Malaka meyakini legenda bahwa Hang Tuah dari abad ke-14 adalah pendekar silat yang terhebat.[3] Hal seperti itu juga yang terjadi di Jawa, yang membanggakan Gajah Mada.

Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual. [2]

Silat berkembang di Indonesia dan Malaysia (termasuk Brunei dan Singapura) dan memiliki akar sejarah yang sama sebagai cara perlawanan terhadap penjajah asing. [3] . Setelah zaman kemerdekaan, silat berkembang menjadi ilmu bela diri formal. Organisasi silat nasional dibentuk seperti Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di Indonesia, Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia (PESAKA) di Malaysia, Persekutuan Silat Singapore (PERSIS) di Singapura, dan Persekutuan Silat Brunei Darussalam (PERSIB) di Brunei. Telah tumbuh pula puluhan perguruan-perguruan silat di Amerika Serikat dan Eropa. Silat kini telah secara resmi masuk sebagai cabang olah raga dalam pertandingan internasional, khususnya dipertandingkan dalam SEA Games.
[sunting]

Sikap dan Gerak

Pencak silat ialah sistem yang terdiri atas sikap (posisi) dan gerak-gerik (pergerakan). Ketika seorang pesilat bergerak ketika bertarung, sikap dan gerakannya berubah mengikuti perubahan posisi lawan secara berkelanjutan. Segera setelah menemukan kelemahan pertahanan lawan, maka pesilat akan mencoba mengalahkan lawan dengan suatu serangan yang cepat

Teknik

Pencak Silat memiliki macam yang banyak dari teknik bertahan dan menyerang. Praktisi biasa menggunakan tangan, siku, lengan, kaki, lutut dan telapak kaki dalam serangan. Teknik umum termasuk tendangan, pukulan, sandungan, sapuan, mengunci, melempar, menahan, mematahkan tulang sendi, dan lain-lain.

Jurus

Pesilat berlatih dengan jurus-jurus. Jurus ialah rangkaian gerakan dasar untuk tubuh bagian atas dan bawah, yang digunakan sebagai panduan untuk menguasai penggunaan tehnik-tehnik lanjutan pencak silat (buah), saat dilakukan untuk berlatih secara tunggal atau berpasangan. Penggunaan langkah, atau gerakan kecil tubuh, mengajarkan penggunaan pengaturan kaki. Saat digabungkan, itulah Dasar Pasan, atau aliran seluruh tubuh

Aspek dan bentuk
Kesenian Randai dari Sumatra Barat memakai silek (silat) sebagai unsur tariannya.

Terdapat 4 aspek utama dalam pencak silat, yaitu:

1. Aspek Mental Spiritual: Pencak silat membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar dan maha guru pencak silat zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.
2. Aspek Seni Budaya: Budaya dan permainan "seni" pencak silat ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah Pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisional.
3. Aspek Bela Diri: Kepercayaan dan ketekunan diri ialah sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri dalam pencak silat. Istilah silat, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis bela diri pencak silat.
4. Aspek Olah Raga: Ini berarti bahwa aspek fisik dalam pencak silat ialah penting. Pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Kompetisi ialah bagian aspek ini. Aspek olah raga meliputi pertandingan dan demonstrasi bentuk-bentuk jurus, baik untuk tunggal, ganda atau regu.

Bentuk pencak silat dan padepokannya (tempat berlatihnya) berbeda satu sama lain, sesuai dengan aspek-aspek yang ditekankan. Banyak aliran yang menemukan asalnya dari pengamatan atas perkelahian binatang liar. Silat-silat harimau dan monyet ialah contoh dari aliran-aliran tersebut. Adapula yang berpendapat bahwa aspek bela diri dan olah raga, baik fisik maupun pernapasan, adalah awal dari pengembangan silat. Aspek olah raga dan aspek bela diri inilah yang telah membuat pencak silat menjadi terkenal di Eropa.

Bagaimanapun, banyak yang berpendapat bahwa pokok-pokok dari pencak silat terhilangkan, atau dipermudah, saat pencak silat bergabung pada dunia olah raga. Oleh karena itu, sebagian praktisi silat tetap memfokuskan pada bentuk tradisional atau spiritual dari pencak silat, dan tidak mengikuti keanggotaan dan peraturan yang ditempuh oleh Persilat, sebagai organisasi pengatur pencak silat sedunia.
[sunting] Tingkat kemahiran

Secara ringkas, murid silat atau pesilat dibagi menjadi beberapa tahap atau tingkat kemahiran, yaitu:

1. Pemula, diajari semua yang tahap dasar seperti kuda-kuda,teknik tendangan, pukulan, tangkisan, elakan,tangkapan, bantingan, olah tubuh, maupun rangkaian jurus dasar perguruan dan jurus standar IPSI
2. Menengah, ditahap ini, pesilat lebih difokuskan pada aplikasi semua gerakan dasar, pemahaman, variasi, dan disini akan mulai terlihat minat dan bakat pesilat, dan akan disalurkan kepada masing-masing cabang, misalnya Olahraga & Seni Budaya.
3. Pelatih, hasil dari kemampuan yang matang berdasarkan pengalaman di tahap pemula, dan menengah akan membuat pesilat melangkah ke tahap selanjutnya, dimana mereka akan diberikan teknik - teknik beladiri perguruan, dimana teknik ini hanya diberikan kepada orang yang memang dipercaya, dan mampu secara teknik maupun moral, karena biasanya teknik beladiri merupakan teknik tempur yang sangat efektif dalam melumpuhkan lawan / sangat mematikan .
4. Pendekar, merupakan pesilat yang telah diakui oleh para sesepuh perguruan, mereka akan mewarisi ilmu-ilmu rahasia tingkat tinggi.

Pencak Silat di dunia

Pencak Silat telah berkembang pesat selama abad ke-20 dan telah menjadi olah raga kompetisi di bawah penguasaan dan peraturan Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa, atau The International Pencak Silat Federation). Pencak silat sedang dipromosikan oleh Persilat di beberapa negara di seluruh 5 benua, dengan tujuan membuat pencak silat menjadi olahraga Olimpiade. Persilat mempromosikan Pencak Silat sebagai kompetisi olah raga internasional. Hanya anggota yang diakui Persilat yang diizinkan berpartisipasi pada kompetisi internasional.

Kini, beberapa federasi pencak silat nasional Eropa bersama dengan Persilat telah mendirikan Federasi Pencak Silat Eropa. Pada 1986 Kejuaraan Dunia Pencak Silat pertama di luar Asia, mengambil tempat di Wina, Austria.

Pada tahun 2002 Pencak Silat diperkenalkan sebagai bagian program pertunjukan di Asian Games di Busan, Korea Selatan untuk pertama kalinya. Kejuaraan Dunia terakhir ialah pada 2002 mengambil tempat di Penang, Malaysia pada Desember 2002.

Selain dari upaya Persilat yang membuat pencak silat sebagai pertandingan olahraga, masih ada banyak aliran-aliran tua tradisional yang mengembangkan pencak silat dengan nama Silek dan Silat di berbagai belahan dunia. Diperkirakan ada ratusan aliran (gaya) dan ribuan perguruan.


padepokan

Padepokan adalah istilah Jawa yang berarti sebuah kompleks perumahan dengan areal cukup luas yang disediakan untuk belajar dan mengajar pengetahuan dan keterampilan tertentu. Padepokan yang disediakan untuk belajar dan mengajar Pen-cak Silat dinamakan Padepokan Pencak Silat.

Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI) adalah padepokan berskala nasional dan internasional yang berlokasi di di tas lahan yang luasnya sekitar 5,2 hektar di kompleks Taman Mini Indonesia Indah. Luas total bangunannya sekitar 8.700 m2 dan luas total selasar-selasarnya sekitar 5.000 m2. Padepokan ini secara resmi dibuka oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 April 1997.

Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI) mempunyai sekurang-kurangnya 5 fungsi, yakni :

1. Sebagai pusat informasi, pendidikan, penyajian dan promosi berbagai hal yang menyangkut Pencak Silat.
2. Sebagai pusat berbagai kegiatan yang berhubu-ngan dengan upaya pelestarian, pengembangan, penyebaran dan pening-katan citra Pencak Silat dan nilai-nilainya.
3. Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Pencak Silat Indonesia.
4. Sebagai sarana untuk mempererat persahabatan diantara masyarakat Pencak Silat di berbagai negara.
5. Sebagai sarana untuk memasyarakatkan 2 kode etik manusia Pencak Silat, yakni : Prasetya Pesilat Indonesia dan Ikrar Pesilat.

[sunting] Organisasi Pencak Silat

* PERSILAT- Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa
* IPSI - Ikatan Pencak Silat Indonesia
* PESAKA Malaysia - Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia
* PERSISI - Persekutuan Silat Singapore
* EPSF - European Pencak Silat Federation

Sampai saat ini Anggota Organisasi Pencak Silat yang sudah terdaftar/tercatat di PERSILAT sebanyak 33 organisasi di seluruh dunia


source: wikipedia

Rabu, 19 Mei 2010

SMS wilujeng boboran siam basa sunda

1.
Niti wanci nu mustari , ninggang mangsa nusampurna , dina Idul Fitri anu ieu.. hayu urang sami-sami ngabersihkeun rereged ati.. tina khilaf sinareng dosa.. Taqqobalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum.
2.
Bilih aya tutur saur nu teu kaukur, reka basa nu pasalia, laku lampah nu teu merenah, wilujeng boboran shiam neda sih hapunten tina samudaya kalepatan lahir sinareng bathin.
3.
Sadaya jalmi tiasa ngiring lebaran....... tapi teu sadaya jalmi tiasa ngiring Idul Fitri.... mugi urang kalebet jalmi nu tiasa ngiring Idul Fitri..... wilujeng boboran shiam 1430 H. Hapunten samudaya kalepatan.
4.
Laligarna tarate dina talaga hate. nyambuangna seungit malati nu ligar dina taman ati janten ciciren lubarna kalepatan antawis urang. Wilujeng boboran shiam 1430 H. Taqqobalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum.
5.
Batin nu usik nyaliksik diri, bilih kasabit kaciwit ati, karumpak ungkara basa, kadudut kalindu qalbu,mugia rido galih jembar pangampura tina samudayaning kalepatan. wilujeng boboran shiam 1430 H. Hapunten samudaya kalepatan.
6.
Ngahaturakeun wilujeng boboram shiam 1 syawal 1430 H, bilih kantos nyungkelit dina ati, tugenah dina manah, kasiku catur, katajong omong ku pribados, mugi ridho ngahpunten samudaya kalepatan.
7.
Bilih aya langkung saur bahe carek , Kaciwit kulit kabawa daging, Tunggul dirurut catang dirumpak, Nyungkelit ati teugeunah manah, Mudut pangampura , Wilujeung boboran shiam 1430 H
8.
Wening galih nu dipamrih , Jembar manah nu dipilampah , Wilujeng boboran shiam 1428H,
kalayan neda pangapunten tina samudayaning kalepatan
9.
Sugrining runtah kalepatan dina manah , nyeuri peurihna ati sanubari , mugia lubar ku silaturahmi,
Wilujeng boboran shiam 1430 H . Taqobalallahu minaa waminkum
10.
Sanajan raga paanggang, teu bisa amprok dampal panangan ,
Ngan saukur bisa ngirim surat, chating jeung SMSsan
Kalayan dibarengan ku kaikhlasan, neda dihapunten samudaya kalepatan
Wilujeng Boboran Syiam 1430 H
11.
Kedaling rasa nu pinuh ku bangbaluh hate, urang lubarkeun, ngawengku pinuh ku nyuuh,
meungpeung wanci can mustari., Neda dihapunten kana samudaya kalepatan,
bilih kantos nyungkelit dina ati, kasiku catur, katajong omong dina cariosan anu matak ngarahetkeun kana manah, kumargi urang mah teu tiasa lumpat tina kalepatan sareng kakhilafan. Sim kuring ngahaturkeun Taqabalallahu Minna Wa Minkum, Wilujeung Boboran Shiam 1430 H
12.
Weninggalih nu dipamrih, jembar panalar nu diteda, kana laku nu teu luyu, kana lampah nu sulaya.. Wilujeng boboran shiam 1430 H. Taqqobalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum
13.
Wening galih nu dipamrih jembar manah nu diseja mugi agung cukup lumur neda kana samudaya kalepatan lahir tumakaning batin, wilujeng boboran siam
14.
Mugi cukup lumur jembar pangampura bilih aya bobo sapanon carang sapakan neda dihapunten samudaya kalepatan. wilujeng boboran siam
15.
Bersih galih nu diperedih, leah mana nu diseja, dina ieu fitri kiwari, wanci nu mustari susuci diri nyanggakeun hapunten nukasuhun
16.
Nyucruk laku sunah Rasul, mapay lacak agama islam, gema takbir nu agung dipungkas kutali
silaturahim neda pangampura kasadayana wilujeng boboran shiam 1430 H
17.
Jatidiri anu suci rasa jiwa nu tanpa noda , mugia sing ngajadi disarengan ku iman taqwa, nuantukna nunda kanyaah, nyimpen kadeudeuh, silih hampura kapapada jalma, panuhun sihapunten sadaya . Taqqobalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum
18.
Kaluluputan kalelepatan simkuring saparakanca, wilujeng boboran siam nyuciken diri ka Illahi, hampura diri ka gusti nu maha suci, mugia dina ieu fitri, sungkem diri ngajadikeun jalmi nu fitri, wilujeng boboran Boboran Shiam 1430 H.
19.
Nitih wanci nu mustari ninggang mangsa nu utama, nyucikeun panyakit ati, balik diri kanu suci hapunten samudaya kalepatan lahir sinareng batin. wilujeng boboran siam.
20.
Tina weningna ati nu surti, tina mumunggang rasa nu ageung rumasa, bilih aya tutur saur nu teu kaukur, aya lampah nu teu merenah, tur lisan nu ngaraheutkeun manah, neda pangapunten lahir tumekaning batin, mugi luntur qolbu jembar pangampura. Wilujeng boboran siam 1430 H. Taqobalallohu mina waminkum siamana wasiamakum, minal ‘aidin walfaizin.
21.
Mipit amit seja nurih kapeurih ati, malah mandar lubar akar-akar angkara na satungkebing rasa. Ngala menta galura pangampura tina sagala lalampahan tur rumpaka nu ngagelar raheut manah. taqoballhu minnawmnkum,taqobalahuyakarim.
22.
Bilih aya luhur saur bahé carék, tutur nu teu kaukur, laku-lampah nu teu merenah dugi ka ngaraheutkeun manah, di bulan nu pinuh barokah ieu hayu urang silih lubarkeun silih hapunten lahir batin, hayu urang mapag 1 Syawal 1429 H ku kabungahan tur kaikhlasan.
23.
Harta paling berharga adalah sabar, teman paling setia adalah amal, ibadah paling indah adalah ikhlas, harga diri paling tinggi adalah iman, dan pekerjaan paling berat adalah memaafkan. maaf untuk lisan yang tak terjaga, hati yang yang berprasangka, janji yang terabaikan dan sikap yang pernah menyakitkan. Taqobalallohu minna waminkum syimana wa shiyamakum. Minal aidzin wal faidzin.
24.
Ti Lahir dugi ka Bathin.. Pamundut nu kapihatur , ligar manah ku kaikhlasan , tiasa ngalubarkeun, tina sanes kanten samudaya kalepatan, inggis catur teu kaukur , lampah lali nincak salah , neda sihapuntenna. Wilujeng boboran shiam 1429 H
25.
Wilujeng boboran siam 1429. Minal aidin wal faizin. Mugi barokah Ramadhan nuyun lakuning lampah urang dina enggoning nyorang sawelas sasih anu bakal karandapan.
26.
Taya basa nu bisa direka, taya saur nu bisa jadi pangjajap catur, lintang ti kedalna ucapan “wilujeng boboran shiam” neda dihapunten lahir tumekaning batin.
27.
Bilih kantos kasisit sebit kana ati, kapancah kaléngkah ucap, kajenggut kababuk catur, tawakufna nu kasuhun. Hapunten sadaya kalepatan.wilujeng boboran
28.
Ngeunteung na raga katineung, nyaliksik diri ngarampa dada bari reureuh milang dosa, breh bulan pangharepan geus lekasan poe fitri nembongan. Neda sihapunten
29.
Najan panangan teu amprok, basa teu nyapa, raray teu tepang. hate sanubari meredih kedah silih bebaskeun, diri silih sucikeunn, mudah2an urang sadayana janten jalmi nu taqwa.amin
30.
Mipit amit seja nurih kapeurih ati, malah mandar lubar akar-akar angkara na satungkebing rasa. Ngala menta galura pangampura tina sagala lalampahan tur rumpaka nu ngagelar raheut manah. taqoballhu minnawmnkum,taqobalahuyakarim

Sakali deui bilih aya nu bade nambihan Koleksi SMS Lebaran Idul Fitri Ku Bahasa Sunda.. mangga diantos.. cag ah

Link pustaka : Prayudi , mpang99 , Galuh Purba, http://saungweb.blogspot.com/2009/08/koleksi-sms-lebaran-idul-fitri-ku.html

Selasa, 18 Mei 2010

BM Diniyah Qonuniyah - Muktamar NU ke-32

NASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010



KATA PENGANTAR

Ucapan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan salawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW atas selesainya pembuatan draft laporan hasil kerja Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah yang diamanahkan Panitia Besar kepada kami. Bersama seluruh anggota Tim, kami telah melakukan berbagai pertemuan untuk membahas draft laporan yang diawali dengan proses identifikasi berbagai persoalan ketatanegaraan yang perlu dibahas karena dipandang baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan jamaah Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, masing-masing anggota Tim memperoleh penugasan untuk mencermati berbagai ketentuan perundang-undangan baik yang sudah menjadi Undang-Undang maupun yang masih dalam tahap Rancangan Undang Undang. Selain dari itu, dengan mempertimbangkan untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia, komisi juga memandang perlunya dipertimbangkan untuk penyusunan sebuah undang undang yang berkaitan dengan Perlindungan Kehidupan Beragama guna menghindarkan terjadinya konflik antar umat beragama.

Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah adalah komisi yang baru dibentuk pada Muktamar ke 32 ini sebagai pengembangan dari Komisi Bahsul Masail Diniah Waqi’iyah dan Komisi Bahsul Masail Diniah Maudu’iyah yang diharapkan menjadi tempat untuk melakukan pembahasan terhadap berbagai persoalan ketatanegaraan yang dipandang penting untuk kemaslahatan warga NU maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Berkenaan dengan itu maka Komisi Bahsul Masail Diniah Qanuniyyah menyampaikan Draft Rumusan Keputusan Bahtsul Masail Diniyah Qonuniyah kepada peserta Muktamar NU ke 32 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Draft ini telah dibahas dalam Bahtsul Masail Nasional Pra Muktamar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, tanggal 29-31 Januari 2010.

Kami berharap agar para muktamirin berkenan melakukan pendalaman terhadap materi pembahasan yang kami susun. Dalam pandangan kami, sekalipun peserta muktamar telah menyelesaikan pembahasan terhadap draft laporan komisi, akan tetapi masih diperlukan tugas lanjutan yaitu untuk memperjuangkan agar kesepakatan yang diambil di muktamar tentang berbagai masalah Qanuniah dapat dibahas pada tingkat yang lebih lanjut baik kepada instansi pemerintah yang terkait maupun DPR.

Demikian laporan kami dan kami haturkan ucapan terima kasih.





Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariiq.
Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:
1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum



DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

QAWAIDUT TAQNIN NAHDLATUL ULAMA

A. Pendahuluan

Salah satu pilar tegaknya negara hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memenuhi rasa keadilan dan aspirasi masyarakat.

Peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional maupun di tingkat daerah adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum terhadap pihak yang diatur dalam materi hukum peraturan tersebut.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan azas keterbukaan, masyarakat berhak untuk berpartisipasi mulai dari perencanaan, persiapan, pembahasan, pelaksanaan, penyebarluasan, dan pengawasannya.

Arah pembentukan peraturan perundang-undangan pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik yang bersifat perubahan, penggantian maupun pembuatan peraturan pelaksanaannya adalah antara lain untuk:


1. Mempercepat proses reformasi
2. Meningkatkan kualitas demokrasi
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat khususnya otonomi daerah.
4. Menghormati, memajukan, dan melindungi hak asasi manusia termasuk memperhatikan prinsip kesetaraan jender.
5. Mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi rakyat yang berkeadilan


Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang harmonis dan tidak saling bertentangan baik antara jenis, hierarki secara vertikal maupun horizontal, yang disusun berdasarkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Pembuatan peraturan perundang-undangan memuat landasan filosofis yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan yuridis adalah mengacu kepada sumber sumber hukum dalam ketatanegaraan yaitu Pancasila dan UUD 1945. Landasan sosiologis yaitu realitas fakta kehidupan dan kondisi kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.

Asas materi hukum yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada intinya adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah harus memuat upaya untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai lapisan guna memenuhi hak-hak asasi seluruh warga negara dan memperkuat Negara kesatuan Republik Indonesia di dalam kerangka kebhinekaan yang mencerminkan harkat persamaan dan perlakuan yang adil.

Dasar penetapan, prosedur dan asas di atas secara teoritik dapat melahirkan peraturan perundangan yang membawa kemaslahatan untuk umat Islam khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Akan tetapi dalam faktanya bisa terjadi peraturan perundangan yang tidak sejalan dengan kemaslahatan tersebut baik karena kurang adanya ketelitian dari pihak pembuat undang-undang sehingga dapat merugikan semua pihak khususnya umat Islam sebagai penduduik mayoritas di negeri ini.

Karena itu, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia sudah sepatutnya melakukan sikap kritis guna mengidentifikasi berbagai undang-undang ataupun rancangan undang-undang yang dipandang dapat merugikan kepentingan bangsa sejalan dengan tujuan ajaran Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. Al Anbiya’ [21]: 107. Seluruh undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah membawa kemaslahatan bagi seluruh kepentingan bangsa. NU sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah sudah sepatutnya secara proaktif melakukan pengkajian baik terhadap undang-undang yang sudah ada dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahannya maupun usulan terhadap perlunya dibuat undang-undang yang baru untuk disampaikan dalam program legislasi nasional melalui Badan Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat. Kepentingan penelaahan terhadap seluruh peraturan dan perundang-perundangan serta pengusulan peraturan dan undang-undang yang baru dimaksudkan agar kepentingan warga Nahdlatul Ulama dan umat Islam dapat tertampung dalam program penyelenggaraan kehidupan berbangsa.

Untuk itu diperlukan kaidah-kaidah menurut perspektif NU agar proses perumusan peraturan dan perundang-undangan (Qawa’id Taqnin) di Indonesia yang dapat berjalan sesuai dengan kemaslahatan umat dan cita-cita mendirikan negara RI yang adil makmur sejahtera lahir dan batin yang didasarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunnah waljamaah.

B. Maksud dan Tujuan

Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek: (1) preventif yaitu hukum hendaklah tidak mendorong tingkah laku yang tidak disetujui oleh warga pendukungnya (2) kuratif yaitu setiap undang-undang adalah merupakan hukum yang dibentuk yang dalam pelaksanaannya dapat memperbaiki ketidakseimbangan (injustice) dalam arti mewujudkan kesebandingan (justice) atau menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul (3) fasilitatif yaitu hukum itu hendaklah dibentuk yang dapat menciptakan pengakuan, pengaturan dan perlindungan terhadap lembaga hukum.

Dari uraian di atas maka dapatlah dipahami bahwa setiap undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Proses transformasi kehidupan masyarakat yang bergerak dari fase agraris menuju kepada kehidupan moderen, memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang telah sejak lama berkembang dalam masyarakat namun pada saat yang sama juga bersikap responsif kepada perkembangan moderen (al muhâfazat ‘ala al qadîm al shâlih wal akhdz bil jadîdi ashlah).

Atas dasar itulah, Muktamar NU ke 32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundangan dengan tujuan agar peraturan perundangan di Indonesia dapat:


1. Meningkatkan komitmen seluruh warga-bangsa terhadap keluhuran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam
2. Menjamin kreatifitas, kemandirian dan harkat martabat bangsa
3. Menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara
4. Melindungi akar budaya bangsa yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
5. Memberikan sebesar-besar kemaslahatan kepada bangsa
6. Meningkatkan tarap hidup bangsa
7. Menjamin terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


C. Pendapat NU tentang penyerapan Hukum Islam dalam hukum nasional

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam dimana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang baru dapat terlaksana secara paripurna dengan memerlukan peranan dan dukungan negara.

Oleh karena itu, NU memandang penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan yang tetap sejalan dengan semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, penyerapan ajaran Islam terhadap hukum nasional tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama. Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung kepada materi dan ruang lingkup berlakunya.

1. Formal (rasmiyah)

Formal artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, hukum waris, wasiat, hibah dan transaksi perbankan. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan perundangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya berlaku bagi umat Islam.

2. Substansial (dzatiyah)

NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pekerja seks komersial dan lain-lain.

3. Esensial (ruhiyah/jauhariyyah)

NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya jinayat Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.


D. Qawaidut Taqnin NU

Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa seluruh praktek penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU kepentingan ke depan itu adalah harus selalu didasarkan kepada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan.

Secara umum pembuatan peraturan perundangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah:

تصرف الإمام علي الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kepada kemaslahatan.

Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashidus syari’ah) maka bagi NU semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashidusy syari’ah) yaitu:

1. Hifzhud Din:

Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua UU haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan per-UU-an hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang-undang RI hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang-undang RI tidak boleh bertentangan dengan semangat spritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

2. Hifzhun Nafs

Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya UU yang merendahkan martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33)

3. Hifzhul Aql

Peraturan per-UU-an hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia. Hal ini terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa. Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.(Qs. 17:70)

4. Hifzhun Nasl

Seluruh per-UU-an harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh peraturan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).

5. Hifzhul Mal

Seluruh per-UU-an hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa, Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).

Sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka sebuah peraturan perundangan harus:


1. Melindungi semua golongan
2. Berkeadilan
3. Sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia
4. Sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama
5. Selalu memiliki wawasan ke depan.


E. Peran NU dalam Proses Pembentukan Hukum di Indonesia

Legislasi Nasional merupakan agenda penting dalam penyelenggaraan negara yang berdampak sangat besar terhadap kehidupan bangsa. Legislasi dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, serta rakyatnya makmur sejahtera akan dapat juga sebaliknya. Hal itu semua tergantung bagaimana prinsip-prinsip legislasi dilakukan. Karena itu, NU sebagai bagian terbesar bangsa yang memiliki misi melakukan rekonstruksi umat (ishlahiyatul ummat) sudah sepatutnya ikut terlibat aktif dalam memantau proses legislasi hukum nasional. Setelah itu maka agenda NU adalah memantau sejauh mana pelaksanaan hukum itu sejalan dengan aspirasi umat Islam.

Adapun peran yang dapat dilakukan NU dalam hal ini ada dua, yaitu:

1. Aktif, inisiatif dan kontributif

NU secara proaktif harus mecermati keperluan pembuatan perundang-undangan yang dibutuhkan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya agar terjamin adanya kepastian hukum dalam kasus tertentu dan menghindari penafsiran-penafsiran sepihak yang dapat merugikan masyarakat. Dalam hal ini NU dapat menempuh mekanisme dengan menyusun pokok-pokok pikiran usulan rancangan undang-undang yang mendukung terwujudnya tujuan hukum Islam (maqashidus syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas melalui upaya mendorong lahirnya regulasi sebagai turunan dari UU berupa Peraturan Pemerintah. Selain dari itu, NU juga dapat mengajukan usulan rancangan kepada pemerintah DPR tentang perlunya pembuatan undang-undang tertentu untuk menjamin kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2. Mengawal dan Mengkritisi Undang-undang atau RUU

NU mengambil inisiatif untuk mengawal dan mengkritisi berbagai undang-undang maupun peraturan yang berskala nasional maupun daerah guna menjamin terwujudnya tujuan hukum Islam (maqâshidus syarî’ah) yang menimbulkan kontroversi di masyarakat sehingga umat Islam memperoleh ketenangan dalam mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu setiap undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah mendukung realisasi nilai-nilai keberagamaan dan menghindari adanya undang-undang maupun peraturan yang tidak sejalan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar seluruh undang-undang dan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu didasarkan kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-’âmmah).

Untuk pelaksanaan dua peran di atas maka sudah selayaknya di kalangan internal NU perlu ada kelompok pemerhati perkembangan program legislasi nasional termasuk segala turunan dari berbagai peraturan itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

F. PENUTUP

Seraya bertawakkal kepada Allah SWT dan mengharap ma’ûnah dan taufikNya, Muktamar NU ke-32 di Makasar menyusun tata aturan penetapan perundang-undangan (Qawaidut Taqnin) Nahdlatul Ulama semoga bermanfaat bagi terwujudnya kejayaan Islam dan umat Islam Indonesia (‘izzul islâm wal muslimîn) negeri yang adil dan makmur sejahtera lahir dan batin di dalam ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa robbun ghafûr).

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH

TENTANG

RUU PERLINDUNGAN KEHIDUPAN BERAGAMA

A. Latar Belakang

Sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan ditegaskan lagi pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) ditetapkan bahwa sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bertujuan agar setiap warga menjadi manusia yang taat terhadap ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghargai perbedaan dengan antar sesama umat beragama. Kebebasan beragama (hurriyatut tadayyun) sebagaimana disebutkan di atas kemudian dipertegas lagi pada Pasal 29 ayat (2) yaitu kebebasan bagi setiap warga negara untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya itu. Akan tetapi sayangnya, dalam UUD 1945 tidak ditemukan adanya perintah UUD untuk membuat undang-undang lanjutan guna merumuskan bentuk kebebasan itu untuk mewujudkan manusia Indonesia yang taat dan kepada ajaran agamanya sekaligus dapat hidup dengan seluruh komponen bangsa yang majemuk dalam semangat toleransi dan kerukunan. Pada aspek pribadi setiap manusia memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengamalkan ajaran agamanya bahkan negara harus memberikan pelayanan secara optimal namun negara belum memiliki panduan dalam menjabarkan kebebasan beragama itu. Namun apabila kebebasan beragama pada tataran individu itu tidak dibatasi dengan rambu-rambu maka kebebasan beragama itu dapat menimbulkan anarkhi dan akhirnya akan melahirkan kegaduhan di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan Undang Undang Perlindungan kehidupan Beragama. Dalam ajaran Islam telah ditegaskan beberapa prinsip tentang hubungan antara umat Islam dengan lainnya antara lain:


1. Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 19)
2. Dan siapa orang yang mencari-cari agama selain Islam maka tidak akan ditrerima amalannya dan dia di akhirat menjadi orang yang merugi (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 85)
3. Tidak ada paksaan memasuki agama sesungguhnya telah jelas antara yang baik dari yang buruk, maka siapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh yang tidak ada putusnya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui (Q.S. Al Baqarah [2]: 256).
4. Allah tidak melarang kamu terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu, kamu berbuat kebajikan kepada mereka dan berlaku adil kepada mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 8)
5. Bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya (Q.S. Al Kafirun [109]: 6).

Di samping itu, fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, adalah untuk menjaga agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

Oleh karena itu, dalam rangka harasatud din, NU perlu mendorong pemerintah untuk membuat regulasi tentang perlindungan kehidupan agama di Indonesia. Kepentingan umat Islam terhadap legislasi yang berkenaan dengan tuntutan pelaksanaan ajaran Islam berbeda dengan pelaksanaan ajaran agama lainnya. Oleh karena itu adalah hal yang wajar apabila pemerintah RI memberikan perhatian yang lebih dalam pelaksanaan pengundangan ajaran Islam dan hal itu tetap sejalan dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena negara ini didirikan adalah bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin warega negara Republik Indonesia.

B. Tujuan Pembuatan Undang Undang

Pemerintah dipandang perlu untuk membuat undang-undang perlindungan kehidupan beragama agar setiap warga negara memiliki kebebesan sepenuhnya dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghormati kebebasan orang lain. Atas dasar itu, maka konsep kebebasan hendaklah dibatasi apabila telah berkenaan dengan pola hubungan antar sesama WNI. Kebebasan mutlak tidak dikenal dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

C. Mekanisme Pengajuan RUU Perlindungan Kebebasan Beragama

RUU Perlindungan Kebebasan Beragama, selanjutnya disingkat RUU PKB sebaiknya menjadi hak inisiatif DPR dan bukan diajukan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena pemerintah pada tahun 2004 telah mencoba mengambil prakarsa terhadap hal ini namun berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, pada saat situasi politik pasca reformasi di mana peran legislatif lebih dominan maka selayaknya inisatif pengajuan RUU tersebut berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Aparat pemerintah tampaknya telah mengalami trauma dengan pengalaman tahun 2004 ketika Departemen Agama baru mulai melakukan kajian dalam bentuk penyusunan naskah akademis namun telah mengalami penentangan dari berbagai pihak karena dipandang memiliki motif tertentu. Sadar akan besarnya kemungkinan reaksi terhadap RUU PKB ini baik dari kalangan internal umat Islam maupun dari umat beragama lainnya, maka NU perlu memprakarsai perbincangan tentang perlindungan kebebasan beragama yang kemudian diajukan kepada pemerintah dan DPR sebagai bahan penyusunan lebih lanjut.

D. Muatan RUU PKB

Adapun muatan yang perlu diatur dalam Rancangan Undang Undang perlindungan kehidupan Beragama adalah sebagai berikut:

1. Pengertian umum:


* Pengertian agama
* Kehidupan beragama
* Pengertian kebebasan beragama

- Batasan kebebasan beragama
- Hak dan kewajiban umat beragama

* Pengertian kerukunan hidup umat beragama
* Pengertian pemurnian agama
* Pengertian pembaruan agama
* Pelayanan terhadap masyarakat umat beragama:

1. Formalistik
2. Substansial
3. Esensial

2. Tujuan kehidupan beragama
3. Hubungan agama dengan Negara
4. Integrasi nilai dan hukum agama kepada hukum negara
5. Integrasi nilai kebangsaan dalam keberagamaan
6. Peningkatan pemahaman agama
7. Peningkatan penghayatan agama
8. Peningkatan pelayanan bagi pengamalan ajaran agama
9. Peningkatan pengamalan ajaran agama
10. Peranan pemerintah dalam pemeliharaan kehidupan beragama
11. Peranan umat beragama terhadap negara
12. Kewajiban setiap penganut agama terhadap penganut lainnya
13. Ketentuan Penetapan Hari-Hari Besar Keagamaan
14. Kedudukan aliran sempalan agama:

Pengembangan pemikiran
Gerakan Keagamaan
Penodaan/penistaan Agama

15. Kode Etik Penyiaran agama/kode etik Symbol Agama
16. Pendirian rumah ibadat
17. Kedudukan organisasi majelis keagamaan
18. Ketentuan tentang bantuan luar negeri keagamaan
19. Penyumpahan terhadap pejabat pemerintahan
20. Tugas dan Tanggung lembaga kerukunan dalam pemeliharaan keserasian sosial umat beragama
21. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintahan Daerah dalam pemeliharan kehidupan beragama
22. Sanksi Administratif, sanksi Perdata dan Sanksi Pidana terhadap pelanggaran undang-undang.

Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan

Undang-Undang No. 2/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP 2009) dibentuk berdasarkan ketentuan UU Sisdiknas 2003 (UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 53 Ayat (1), bahwa “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.

Tetapi UU BHP 2009 menuai kontroversi, bahkan konstitusionalitasnya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan dari berbagai kalangan. Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas 2003 dan UU BHP 2009 dinilai bertentangan dengan “paradigma pendidikan” yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan sejumlah pasalnya (Pasal 28C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 31).

B. Tanggapan Masyarakat Terhadap UU BHP 2009

1. Pro UU BHP

* Pro- UU BHP dimaksudkan sebagai koreksi terhadap konsep dan pelaksanaan BHMN yang telah berjalan, bukan replika dari BHMN;
* UU BHP 2009 menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun nonakademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi.
* UU BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus, diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan (BHP) yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
* Otonomi pendidikan, menurut UU BHP, harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP.
* Nirlaba: UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai 90 persen. Saat ini, UU BHP membatasi menjadi maksimal 1/3 dari biaya operasional (jaminan UU BHP bahwa kenaikan SPP tidak terjadi).
* UU BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
* UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama kelompok 20 persen termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
* Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru.
* Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.
* UU BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD (daerah) dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
* UU BHP mengharuskan yayasan dan lembaga pendidikan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Laporan pembiayaan pendidikan harus diaudit secara profesional dan diumumkan secara terbuka melalui media massa (keuntungan bagi media massa nasional).
* AD/ART yayasan pendidikan harus disesuaikan dengan UU BHP. Yayasan diberi waktu enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan tata kelola dan pendanaan menurut UU BHP. Pemilik yayasan masih bisa dominan, tetapi tetap harus bisa mewadahi berbagai representasi banyak pihak dan harus bersifat nirlaba.
* BHP berwenang melakukan tindakan hukum dan menanggung konsekuensi hukum atas tindakannya. Pasal 63 UU BHP menyebutkan: “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 adalah pasal-pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

2. Kontra UU BHP 2009


* UU BHP mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional;
* UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar. Maka Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator.
* Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.
* UU BHP memperlakukan “modal dan pemilik modal” sebagai faktor utama penyelenggaraan pendidikan. Terbukti, UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan sebagai dasar dalam mengembangkan pendidikan.
* Otonomi pendidikan dalam UU BHP, khususnya otonomi pendanaan pendidikan, hanya mitos;
* Lembaga pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersial ketimbang pada tujuan kritis dan mencerdaskan bangsa untuk melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman;
* BHP dan UU BHP memberatkan peserta didik dan masyarakat serta mempersempit akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.
* Pengaturan mengenai BHP seharusnya merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
* Janji yang diberikan oleh BHP tentang asas keadilan dan pemerataan bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan, hanya diatas kertas. Dalam kenyataannya penerimaan mahasiswa baru sudah dikafling, 40% melalui jalur Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), 60 % melalui jalur umum (SNMPTN). Yang 60% itu sudah termasuk 20% bagi calon mahasiswa yang msikin dan pintar. Jadi adil dan merata hanya berlaku pada dalam proporsi kurang dari 60%. Saat ini, yang dilakukan oleh PT BHMN malah sudah lebih memprihatinkan lagi. Yang melalui jalur umum (SNM PTN) kurang dari 40%.
* Dengan BHP maka SDM dengan kompetensi intelektual tinggi dalam Universitas yang semula menjadi khazanah intelektual milik bangsa, tidak lagi menjadi aset milik Bangsa sebab mereka sudah sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Brain drain yang selama ini sudah terjadi akan lebih parah lagi. Putra-putri terbaik bangsa akan lari ke negara lain yang lebih maju untuk mencari imbalan materi yang lebih tinggi, mengikuti arus kapitalis internasional. Negara tidak bisa ikut campur dalam hal ini.
* Dengan BHP maka khazanah IPTEK dan temuan-temuan strategis yang semula menjadi aset budaya dan milik bangsa menjadi terbuka untuk dijual kepada pihak manapun yang bisa membeli dengan harga lebih tinggi. Bangsa dan negara tidak akan punya aset intelektual dan tidak akan bisa melakukan pengembangan IPTEK strategis demi kepentingan bangsa (pertahanan keamanan, pertanian, industri, dsb).
* Pernyataan bahwa dengan UU BHP menjadikan pemerintah lebih banyak menanggung sumber dana pendidikan bagi Universitas, tidak bisa dibuktikan sebab:

a. Seberapa besarpun dana yang diberikan oleh pemerintah tidak akan lebih dari 20% APBN untuk semua tingkat pendidikan.
b. Jika sebuah PTN (PT BHP) telah mampu mendanai dirinya sendiri, maka pemerintah tidak lagi mendanai, proporsi dana dari pemerintah bisa nol. Itu artinya, PTN (PT BHP) tersebut sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, dan idea kapitalis.

C. Sikap Muktamar NU

A. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

B. Pendidikan seharusnya dijauhkan dari aspek komersialisasi dan kapitalisasi dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar, maka pemerintah seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan, hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU BHP ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

C. BHP membahayakan kelangsungan hidup bangsa terutama dalam menjaga khazanah budaya, khazanah intelektual, dan khazanah IPTEK yang memiliki nilai strategis demi masa depan dan kejayaan bangsa.

D. BHP akan memasukkan semua sektor strategis dalam bidang pendidikan kedalam pengaruh kapitalis internasional, yang lemah akan tergisa secara semena-mena oleh yang kuat.

E. Mengusulkan untuk merevisi UU Sisdiknas dan UU BHP agar semua mudlarat yang tersebutkan diatas dan mudlarat-mudlarat yang lain, tidak akan terjadi.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,







DRAFT

MATERI BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

A. Latar Belakang

Menurut UUD Negara RI tahun 1945, Indonesia merupakan negara hukum dengan konsep negara kesejahteraan. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi dari amanat konstitusi yang menentukan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia telah dimulai dengan pengesahan Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tanggal 19 Oktober 2004. Namun dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan sejak disyahkan, tepatnya 21 Februari 2005, UU SJSN tersebut mendapatkan uji materi yang putusannya dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2005. UU SJSN tersebut merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia, tidak secara tegas mengatur eksistensi peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan program- program jaminan sosial sebelum UU SJSN dan sampai saat ini masih terus berlaku.

Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJNS menentukan adanya 5 (lima) jenis program jaminan sosial yaitu: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian. Namun, jaminan kesehatan yang mendapat prioritas untuk memenuhi hak konstitusi rakyat Indonesia untuk “ memperoleh pelayanan kesehatan” dan “jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terkait dengan belum dipenuhinya pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menurut UU SJSN harus dibentuk melalui Undang undang tersendiri.

Masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ini, karena RUU tersebut akan mengatur badan yang dipercaya untuk mengumpulkan, menghimpun, mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial milik seluruh peserta untuk pembayaran manfaat kepada peserta. Tugas, hak dan kewajiban BPJS sudah ditentukan dalam UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN. Menurut Pasal 5 UU SJSN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 , BPJS harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, artinya harus dengan persetujuan wakil rakyat. Sampai saat ini belum ada BPJS yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU SJNS. Untuk mengisi kekosongan hukum, maka Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes diberikan hak untuk bertindak sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan syarat disesuaikan dengan UU SJSN, paling lambat pada tanggal 19 Oktober 2009.

B. Permasalahan :


1. Terdapat perbedaan dasar hukum dalam pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh Badan Penyelenggara dengan dasar hukum masing- masing badan penyelenggara lainnya, seperti Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes.
2. Data masyarakat miskin versi BPS beda dengan versi Pemda.
3. Sistem pensiunan dan asuransi sosial dalam sistem jaminan sosial belum jelas.
4. Belum ada Lembaga Jaminan Sosial Dasar untuk golongan bawah dan sektor informal
5. Law enforcement peraturan perundangan masih lemah
6. Ada perbedaan dengan prinsip nirlaba dalam sistem
7. Adanya perbedaan substansi UU no.40 tahun 2004 dengan 15 undang undang yang terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan 17 Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan undang undang yang bersangkutan.
8. Masih lemahnya koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional

C. USULAN


1. Perlu menindak lanjuti 26 pasal dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang perlu dibuatkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan perundang-undangan lainnya.
2. Perlunya kriteria miskin dan yang berhak mendapat Jaminan Sosial yang jelas.
3. Perlunya aturan kerja sama antar instansi terkait data penduduk dan tingkat sosialnya.
4. Perlu koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pembentukan Badan Penyelenggara di tingkat daerah.
5. Perlu Pelaksanaan UU SJSN secara konsisten- harmonisasi seluruh peraturan dan perundangan terkait.
6. Mendorong dibuatnya Undang Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 5 yo pasal 52 ayat 2 UU SJSN dengan bentuk badan hukum wali amanat – sesuai amanat UU SJSN.
7. Perlunya pekerja di sector informal bisa mendapatkan jaminan social


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

AMANDEMEN UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN

A. Pendahuluan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, yang mencakup hak atas informasi, hak atas privasi, hak untuk menikmati teknologi kesehatan, hak atas pendidikan tentang kesehatan, hak atas ketersediaan makanan dan gizi, hak untuk mencapai standar hidup optimal, dan hak atas jaminan sosial. Sejalan dengan itu, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat (3) mencakup segi kehidupan fisik maupun non-fisik yang diselenggarakan secara terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabililatif yang menyeluruh dan berkesinambungan, seperti yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 1982. Pembangunan kesehatan ditujukan agar masyarakat mampu hidup sehat sehingga terwujud derajat kesehatan yang optimal. Hal ini berimplikasi pada perlunya mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.

Indonesia mempunyai permasalahan kesehatan yang kompleks, selain beban jumlah penduduk yang besar, luasnya daerah geografis dan banyaknya jumlah pulau, beragamnya suku bangsa, serta beragamnya tradisi dan adat istiadat. Disamping itu, keterbatasan sumberdaya, kemiskinan dan masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan, juga menambah kompleksitas masalah kesehatan. Hal ini berakibat pada masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, serta rendahnya tingkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dapat menggambarkan tingkat kualitas SDM rakyat Indonesia.

Keberadaan Undang Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, diharapkan dapat menciptakan suatu tatanan hukum yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pemberi pelayanankesehatan maupun bagi masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaannya, fokus upaya kesehatan masih terkonsentrasi pada upaya pengobatan (kuratif) belum preventif. Padahal, Paradigma sehat tidak saja meliputi penyembuhan penyakit, menurunkan angka kematian, atau memperpanjang umur harapan hidup, melainkan lebih luas, yaitu bahwa kesehatan mendorong penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas sejak dini sejak sebelum terjadinya pembuahan. Pada kenyataannya, kebijakan publik di bidang kesehatan belum memandang pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan utama dan investasi SDM, hal ini tampak dari kecilnya anggaran belanja bidang kesehatan yang kurang dari 5% APBN. Bandingkan dengan anggaran bidang pendidikan yang telah mencapai 20% APBN.

B. USULAN

Perkembangan keadaan saat ini menuntut dilakukannya perubahan/ amendemen UU nomor 23 tentang Kesehatan 1992 dalam hal:

1. Perlunya perhatian khusus pada pelayanan kelompok beresiko tinggi yaitu Kesehatan ibu, Anak, remaja, usia lanjut dan penyandang cacat.
2. Adanya kepastian dan jaminan hukum mengenai penghentian kehamilan yang bermutu, aman, bertanggung jawab yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atas indikasi kegawatan medis.
3. Adanya kepastian peningkatan anggaran kesehatan hingga mencapai 15% APBN
4. Perlunya menciptakan desentralisasi pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan adil.
5. Adanya jaminan yang tegas terhadap hak reproduksi yang berorientasi pada pembentukan generasi penerus bangsa yang sehat, berkualitas dan bertakwa.
6. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang lebih merata dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi publik.
7. Meningkatkan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat tidak mampu
8. Memberikan arah bagi politik pembangunan nasional yang mengarah pada pembangunan yang berwawasan kesehatan.
9. Perlunya dimuat kembali pasal tentang bedah mayat, transplantai, dan transfuse sebagaiman telah diatur dalam uu no. 23 tahun 1992


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UU TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

A. Pendahuluan

Salah satu kewajiban umat Islam yang menjadi salah satu rukun Islam dan mencerminkan wujud pertanggungjawaban sosial individu umat Islam adalah membayar zakat. Karena posisi yang demikian itu, maka keberhasilan pengelolaan zakat menjadi faktor dominan dalam menentukan kesejahteraan hidup umat Islam, dan akan menentukan perkembangan sektor-sektor strategis lain yang bagi umat Islam, seperti pendidikan. Pengalaman pengelolaan zakat di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat belum dilakukan sebagai suatu sistem yang baik dan efektif, serta sesuai dengan maqashidus syar’iyyah. Upaya melembagakan pengelolaan zakat sebagai suatu sistem yang baik bukannya tidak pernah dilakukan, antara lain dengan dibentuknya lembaga Bazis secara struktural-nasional dan diterapkannya model-model pengelolaan zakat oleh kelompok masyarakat tertentu. Tetapi sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Pengelaman tentang keberhasilan pengelolaan zakat lebih bersifat kasuistik dan baru berjalan secara parsial dan belum menjadi sistem nasional.

Pelaksanaan zakat bagi umat Islam bisa dikategorikan sebagai salah satu bagian dari hukum (syari’at) Islam yang bisa diserap secara formal dalam sistem hukum nasional berupa UU yang diperuntukkan bagi khusus umat Islam. Dalam konteks ini maka kehadiran UU tentang Pengelolaan Zakat yang baik bisa dipahami dan menjadi kebutuhan mendesak umat Islam. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaannya yang selama ini menjadi landasan juridis dalam pengelolaan zakat di Indonesia belum mampu menciptakan sistem pengelolaan zakat yang pensyariatannya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan (kay la yakuna dhulatan bayn-al aghniya’i minkum) dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini maka program legislasi untuk melakukan perubahan terhadap UU tentang Pengelolaan Zakat yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR merupakan langkah strategis dan harus mendapat dukungan.

B. USULAN

Substansi yang perlu menjadi materi pengaturan dalam RUU tentang Pengelolaan Zakat antara lain sebagai berikut:

1. Paradigma dan asas pengelolaan zakat.

Sesuai dengan arah pembentukan peraturan perundang-undangan, maka paradigma dan asas pengelolaan zakat yang diserap secara formal dalam hokum nasional melalui UU ini, maka harus ada jaminan bahwa melalui UU ini harus tercipta proses penyadaran di kalangan umat Islam untuk menunaikan kewajiban membayar zakat. Membayar zakat selain dipahami sebagai kewajiban yang bersifat syar’iy disadari juga merupakan kewajiban sebagai warga Negara.

2. Kelembagaan pengelolaan zakat.

Yang harus diperhatikan dalam kelembagaan pengelolaan zakat ini, adalah adanya kejelasan tentang status lembaga ini dalam tata kelola pemerintahan Negara (apakah lembaga Negara, semi Negara, atau lembaga mandiri), tugas dan kewenangannya, integritas sumber daya manusia yang akan mengisi lembaga, penerapan manajemen yang bersifat transparan dan akuntabel.

3. Pengumpulan, Pendistribusian dan Pendayagunaan.

Selain faktor kelembagaan, kemampuan manajemen pengelolaan zakat dalam mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan hasil zakat masih merupakan titik lemah dalam pengelolaan zakat selama ini. Kegiatan pengumpulan zakat belum berhasil menjaring semua muzakki. Pendistribusian hasil zakat juga sering menimbulkan masalah, baik ketidakmerataan, ketidakteraturan dan ketidakterbukaan. Lebih-lebih dalam hal pendayagunaan zakat. Hampir sebagian besar zakat yang berhasil dihimpun habis didistribusikan untuk hal-hal yang bersifat konsumstif.

4. Pengawasan Melekat

Beberapa kasus, lembaga berbadan hukum melakukan distribusi harta zakat secara tidak benar, seperti digunakan untuk bantuan pendirian rumah ibadah non muslim dengan alasan toleransi. Untuk itu perlunya pengawasan melekat terhadap lembaga-lembaga yang diberi hak untuk mengumpulkan atau menyalurkan zakat, infaq, shadaqah oleh instansi yang diberi wewenang untuk itu.

5. Partisipasi masyarakat

Sesuai dengan prinsip dan asas pembuatan peraturan perundang-undangan, serta berpedoman dengan qawaidut taqnin Nahdlatul Ulama, maka setiap norma hukum yang ditetapkan dalam suatu UU, maka implementasinya harus memberikan ruang partisipasi yang besar bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan proses pembentukan kelembagaan, rekrutmen sumber daya manusia, pemberian akses informasi kepada masyarakat, pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan lain-lain.

6. Ketentuan tentang sanksi

Sebagai salah satu instrumen untuk membentuk dan melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan Zakat harus bisa mendorong para pihak yang keberadaannya ditetapkan dalam UU ini untuk menaati segala ketentuan. Karena itu ancaman sanksi harus diberikan secara tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran, apalagi ini menyangkut pengelolaan harta umat Islam.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG UNDANG-UNDANG BIDANG POLITIK

A. LATAR BELAKANG

Untuk mengimplementasikan amanah UUD 1945 hasil amandemen, telah dilakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi digulirkan, terutama reformasi bidang politik. Kekuasaan negara dibagi secara tuntas ke dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan, kekuasaan legislatif dan kekuasaan kehakiman, dan hubungan antara ketiga cabang kekuasaan tersebut dibangun dengan prinsip check and balances. UUD 1945 diamandemen tetapi dengan tetap mempertahankan bentuk NKRI, dasar Negara Pancasila dan pemerintahan tetap menggunakan sistem presidensiil. Lembaga-lembaga negara, baik yang lama maupun yang baru dan dibentuk berdasarkan ketentuan Konstitusi, dirumuskan eksistensinya sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terwujudnya tujuan Konstitusi. Proses dan kegiatan demokrasi diperbarui, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan dibentuk penyelenggara pemilu yang lebih mandiri. Pengisian jabatan-jabatan publik secara umum dilakukan melalui mekanisme pemilihan. Presiden, anggota DPD dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak reformasi Indonesia telah menyelenggarakan tiga kali pemilu legislatif dan dua kali pemilu presiden serta ratusan kali pemilu kepala daerah. Nyaris sepanjang tahun rakyat terlibat dalam kegiatan pemilu, yang secara tidak langsung mengurangi konsentrasi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Sampai di sini seakan-akan Indonesia telah berubah wajah: dari negara otoriter menjadi negara tempat bersemayamnya dengan subur kehidupan demokrasi. Dunia internasional memberikan apresiasi yang besar terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Tetapi setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun dewasa ini rakyat justru menghadapi kondisi yang dirasakan tidak wajar dan tidak semestinya. Hiruk pikuk kegiatan politik, baik yang berlangsung secara reguler seperti pilkada atau pileg/pilpres, maupun kegiatan politik insidentil yang lahir dari dinamika politik yang sangat tinggi, belum berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Proses demokrasi yang berjalan amat cepat makin meninggalkan masyarakat yang kondisinya tertatih-tatih secara ekonomi. Akibatnya, proses demokrasi melahirkan sikap aji mumpung, pragmatisme, dan budaya politik uang sehingga biaya demokrasi menjadi semakin mahal. Hal lain yang merisaukan, adalah berubahnya kesantunan dan etika politik, terganggungnya keistiqamahan para tokoh nonpolitik karena ikut masuk ke dalam percaturan politik praktis, dan hilangnya ruh keteladanan dalam kehidupan sosial karena faktor kehidupan politik. Banyak orang menilai, demokrasi yang berkembang di Indonesia belum sepenuhnya efektif untuk menciptakan kesejahateraan rakyat dan tatanan kehidupan yang lebih adil.

Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara tujuan dan cita-cita demokrasi yang luhur dan realitas sosial politik yang dihasilkan? Banyak faktor yang bisa diidentifikasi sebagai penyebabnya. Salah satunya adalah berkaitan dengan produk perundang-undangan yang menjadi instrumen pembentukan sistem dan tatanan sosial masyarakat. Ada beberapa materi UU bidang politik yang ikut menciptakan carut marutnya kehidupan politik, atau menyebabkan arah reformasi berjalan semakin liar. Karena itu, salah satu ikhtiar strategis yang penting untuk dilakukan adalah melakukan kajian dan perbaikan beberapa UU bidang politik.

B. MATERI UU YANG MENGANDUNG PROBLEM

1. UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah juncto UU No.12 Tahun 2008. Salah satu point penting yang diatur dalam UU ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, secara langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa gubernur dan bupati /walikota dipilih secara demokratis. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden, yang di dalam rumusan pasal 6-A ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Para wakil rakyat sesuai dengan kewenangannya, membuat UU 32 tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 dan menentukan pilihan politik hukum mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini merupakan keputusan politik yang berani dana lompatan jauh dibanding periode sebelumnya.

Memang, setelah pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, rakyat menikmati hasil proses demokrasi dalam pemilui lokal, yaitu hadirnya kepala daerah yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Tetapi pada sisi lain, muncul dampak negatif sebagaimana diuraikan di atas. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan sistem kehidupan demokrasi ke sistem lama, yaitu kepoala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi yang perlu diperhatikan, sejak digelar pilkada secara langsug oleh rakyat tahun 2005 telah muncul budaya pragmatism dan politik uang yang mengakibatnya tersingkirnya orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan yang baik, tetapi tidak cukup memiliki kapital untuk maju menjadi kepala daerah.

Khusus mengenai pemilihan guberbur secara langsung oleh rakyat, telah memunculkan persoalan “perebutan legitimasi” antara gubernur dan bupati/walikota, dan mengaburkan posisi gubernur yang di dalam Konstitusi dinyatakan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam konteks ini patut dikaji ulang. Apakah level gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat atau sebagai wakil pemerintah pusat geburnur cukup diangkat oleh presiden, atau dipilih melalui mekanisme perwakilan.
2. UU No. 10 tahuh 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini disusun dalam tekanan politik yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pasal yang substansinya merupakjan kompromi dari berbagai kepentingan politik, dan banyaknya pasal yang diajukan ke MK untuk dijudical review dan sebagian besar dikabulkan oleh MK. Beberapa ketentuan dalam UU ini yang menimbulkan implikasi politik yang tidak sederhana, antrara lain mengenai persyaratan parpol yang relatif ringan untuk bisa ikut pemilu sehingga melahirkan banyak partai peserta pemilu, ketentuan teknis penghitungan dan penetapan kursi yang tidak sederhana. Adapun mengenai sistem pemilunya sendiri sebagaimana yang diatur dalam UU ini, yaitu proporsional terbuka dengan suara terbanyak, sudah cukup ideal untuk kondisi Indonesia.

Penyelengraaan pemilu yang diikuti oleh banyak partai ternyata membengkakkan anggaran pemilu, dan memunculkan kerumitan teknis administratif yang luar biasa. Pada kenyataannya, meskipun banyak partai yang ikut penyelenggraraaan pemilu, hanya ada sembilan yang bisa lolos memenuhi ketentuan Parlemen Threshold 2,5% dari suara sah ecara nasional. Penetapan peroleh kursi dengan menggunakan suara terbanyak di tengah sistem multi partai melahirkan berbagai problem, seperti rumitnya teknis penghitungan suara dn rekapitulasi hasil penghtiungan suara, persaingan super ketat di kalangan calon, baik antrpartrai mapupun di internal partai, dan merebaknya politik uang. Karena itu sudah waktunya ada kemauan politik yang tegas dengan melakukan perubahan peraturan UU, untuk membatasi jumlah partai sampai pada angka yang ideal.

C. USULAN KOMENDASI

1. Pelaksanaan pemillihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat perlu diperbaiki sistem dan aturan pelaksanaannya sehingga tidak makin mengembangkan perilaku negatif dalam proses demokrasi di tengah masyarakat. Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jo UU No.12 Tahun 2008, atau dibuat UU tersendiri tentang pemilu kepala daerah, yang memungkinkan lahirnya persaingan yang sehat dalam proses pilkada, dan mencegah terjadinya politik uang. Khusus untuk gubernur, mengingat posisinya yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dan untuk menyederhanakan pilkada tidak perlu lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi cukup dipilih oleh presiden dari nama-nama yang diajukan oleh daerah melalui mekanisme DPRD.
2. Penghentian Pemekaran wilayah, karena apa yang terjadi selama ini justru tidak sejalan dengan tujuan demokratisasi karena yang dipertaruhkan adalah terjadinya perebutan jabatan dan perselisihan antara daerah induk dengan daerah yang dimekarkan akibat perebutan batas wilayah, aset daerah dan lain sebagainya.
3. Sejak awal dimulai pemerintahan yang baru setiap partai politik telah mempersiapkan kadernya yang akan duduk dalam DPR maupun di lembaga eksekutif agar sejak awal telah memiliki idealisme untuk memperjuangkan kepentingan pembangunan baik yang bersikap nasional maupun daerah guna menghindari munculnya kader karbitan yang muncul secara tiba-tiba akibat dukungan kekuatan relasi dan finansial.
4. Untuk menyedederhanakan proses demokrasi dan menghindarkan berulangkalinya penyelenggaraan pemilu, perlu direncanakan penyelenggaraan pemilu dengan memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal. Dengan demikian hanya akan ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional untuk memilih presiden, anggota DPR dan DPD, dan pemilu lokal untuk memilih bupati/walikota dan anggota DPRD.
5. Paket UU bidang politik juga perlu direvisi untuk mewujudkan sistem pemilu yang lebih demokratis, efektif dan lebih mudah. Pembatasan jumlah partai perlu dilakukan dengan memperketat persyaratan untuk bisa ikut pemilu yang bertujuan untuk menghindari kebingungan rakyat pemilih dan efisiensi anggaran.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DARFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PERLU SEGERANYA PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG PORNOGRAFI

A. Pendahuluan

Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi telah disahkan DPR menjadi Undang-undang Pornografi pada tanggal 30 Oktober 2008. Dengan demikian Indonesia telah memiliki aturan formal mengenai pornogarfi dan pornoaksi. Diharapkan Undang-undang ini akan dapat menyelamatkan bangsa dari kerusakan moral akibat pornografi dan pornoaksi yang sekarang ini semakin terbuka dan mudah diakses.

Namun demikian, keberadaan Undang-undang ini belum memberikan dampak positif terhadap maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat kita, sebab untuk efektifnya pelaksanaan sebuah undang-undang diperlukan peraturan pemerintah. Sementara sampai saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi.

B. URGENSI PP PORNOGRAFI

PP tentang pornografi sangat dibutuhkan di samping sebagai penjabaran yang lebih operasional terhadap isi UU Pornografi, juga untuk memperjelas definisi dan batasan pornografi sebagaimana yang terkandung dalam UU Pornografi. Sebagaimana diketahui keberatan beberapa pihak terhadap UU ini di antaranya adalah definisi pornografi yang melahirkan berbagai pemahaman. Di satu sisi UU ini menjamin kelestarian budaya bangsa, tetapi jika dilihat dari pasal-pasalnya memungkinkan tradisi atau budaya local masuk dalam kategori pornografi. Bahkan ada tuduhan dari beberapa pihak bahwa UU Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 terkait karena adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Atas dasar itu, maka PP tentang Pronografi diharapkan mengakhiri seluruh persengketaan yuridis formal dari undang undang tersebut.

Karena itu, diterbitkannya peraturan pemerintah diharapkan dapat menjembatani perlindungan terhadap moral bangsa dan tradisi budaya Indonesia yang berlandaskan bhineka tunggal ika.

C. USULAN

1. Segera diterbitkan PP-nya agar UU Pornografi bisa berjalan efektif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia.

2. Perlunya penegasan kategori dan kriteria pornografi dan pornoaksi agar tidak menimbulkan salah tafsir dan salah paham di kalangan masyarakat.

3. Kriteria pornografi dan pornoaksi:

a. Terbuka untuk umum tanpa batas usia

b. Subyek Aktornya bukan anak-anak

c. Dominasi daya tarik pornografi dan pornoaksi untuk merangsang hasrat seksual. (ma tasytahihi anfusu wa taladzul a’yun)

d. Tidak terkait ritual keagamaan atau aksi spiritual keagamaan.

e. Tidak membawa misi utama pesan moral dan kepentingan pendidikan atau eksposisi dan konfigurasi seni berbobot tinggi. Dengan kejelasan instrument yang dapat dijadikan ukuran tentang merangsang syahwat dan nilai seni.

4. Perlunya ketegasan dalam PP, apakah kasus yang terkait dengan Pornografi termasuk delik aduan atau delik biasa/pidana.

5. Sanksi hukum yang jelas, tegas dan dijatuhkan pada subyek aktor atau fasilitatornya secara konsisten.

6. Sosialisasi tentang akibat yang ditimbulkan dan penegasan terhadap aparat yang berwenang untuk itu

7. Perlunya aturan kendali dalam pengembangan Teknologi Informatika terutama hal-hal yang terkait dengan akses internet porno.

8. Perlunya penambahan kuantitas unsur ulama dalam LSF

9. Perlunya instansi khusus yang menangani hal-hal yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PP NO. 55 TAHUN 2007

PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

A. Pendahuluan

Pendidikan diniyah dan pesantren adalah model/system pembelajaran yang tumbuh dan berkembang berbasis nilai, karakter, dan budaya. Diantara keutamaannya adalah transformasi ilmu pengetahuan yang bersifat substansif dan egalitarian. Sistim pendidikan di pondok pesantren terbukti telah melahirkan format keilmuan yang multi dimensi yaitu ilmu pengetahuan agama, membangun kesadaran sosial dan karakter manusia sebagai hamba Allah. Atas dasar itu, maka dalam pengaturan PP No. 55 Tahun 2007 hendaknya memuat penegasan yang lebih kongkrit bukan saja terhadap masa depan pondok pesantren akan tetapi imbalan jasa yang patut di terima oleh pondok pesantren atas perannya dalam membina karakter bangsa yang merupakan sinergi antara mujahadah, ijtihad dan jihad.

Kehadiran PP 55/2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan. Regulasi ini menegaskan perlunya pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pembentukan sikap, kepribadian, keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pentingnya pendidikan keagamaan dalam mempersiapkan peserta didik memiliki pengetahuan agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan agamanya.

Oleh karena itu regulasi ini memerlukan berupa Peraturan Menteri Agama yang dapat memperjelas maksud PP ini. Regulasi yang akan dikeluarkan akan lebih baik apabila tetap memelihara karakter pesantren itu sendiri antara lain kemandirian pesantren sehingga regulasi yang akan dibuat tetap menjamin otonomi kelembagaan, pengelolaan akademik yang terkait dengan system pembelajarannya.

Isu pokok pada PP 55/2007 yang harus ada adalah penegasan tentang beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengertian yang disebut pendidikan keagamaan formal, disebabkan kata “formal” menimbulkan masalah karena akan berhadapan dengan realitas pesantren yang secara historis memiliki otonomi kelembagaan, dan manajemen. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa pondok pesantren sama sekali terlepas dari perhatian manajemen pendidikan nasional.
2. Pondok pesantren telah memiliki pendidikan diniyah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah masih perlu mendirikan pendidikan diniayah formal atau jalan keluarnya dengan adanya program pemerintah mendirikan pendidikan diniyah formal yang bersifat program percontohan akan tetapi tidak menyaingi lembaga pendidikan sejenis yang sudah ada.
3. Peraturan Pemerintah diperlukan tentang peserta didik, ujian, kurikulum dan penghargaan terhadap lulusan yang dihasilkan dari pondok pesantren.

B. Isi PP No. 55 Tahun 2005

1. Pasal 14 – 20: Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal. Diperlukan penjelasan tentang ketiga jalur tersebut, apakah ketiga jalur tersebut harus ada atau hanya sekedar tawaran pilihan

2. Pasal 15, 16

Pendidikan Diniyah Formil

Perlu dipertegas posisi pemerintah

Seharusnya diniyah formal tidak diperlukan

3. Pasal 17,18,19

Apakah diperlukan pengaturan yang ketat tentang peserta didik, kurikulum dan ujian

Kalau terjadi pengaturan dikhawatirkan akan terganggu kemandirian dan keberlangsungan Pendidikan Diniyah Pasal 23 Majelis Taklim

Diperlukan penegasan bahwa majelis taklim adalah system pendidikan non formal sehingga dalam PP penyelenggaraan pendidikan majelis taklim termasuk di dalamnya.

4. Pasal 14 & 26 Tentang Pesantren:

Kurang jelas pengertian pondok pesantren

5. Pasal 14 ayat c menyebutkan

Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai system dan atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal

6. Pasal 26

Ayat 2:

Perlu penegasan dalam Peraturan Menteri Agama tentang hal berikut:.

Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan atau pendidikan tinggi.

C. Analisis

1. Dalam PP/2007 tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pendidikan diniyah dibagi menjadi pendidikan diniyah formal, informal, dan nonformal. Permbagian tersebut perlu penjelasan karena dipahami bahwa pendidikan diniyah adalah pendidikan nonformal.
2. Penggunaan kata”formal” seperti “pendidikan diniyah formal” dalam PP tersebut memungkinkan terjadinya formalisasi pendidikan keagamaan yang dikhawatirkan pendidikan keagamaan yang sudah mapan di lapangan mengalami reduksi atau intervensi.
Perlu adanya penegasan bahwa pencantuman “formal” itu hanyalah sebutan alternative atau opsi, dan dalam rangka proses memperoleh recognisi (pengakuan).
3. Pasal (14 dan 26) tentang pesantren perlu penegasan pesantren sebagai wadah atau sebagai suatu pendidikan.
4. Regulasi yang akan dibuat tetap mempertahankan kesinambungan dan kemandirian pesantren.
5. Majelis taklim hendaknya berfungsi sebagai satuan pendidikan non-formal.

D. USULAN

1. Untuk membentuk pemahaman dan penjelasan tentang PP 55 / 2007 diperlukan peraturan Menteri Agama. PMA tersebut dapat menjamin keaslian, kesinambungan dan kemandirian pendidikan diniyyah dan pesantren.
2. PMA dan kebijakan tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan diharapkan mempertahankan otonomi kelembagaan, otonomi pengelola, otonomi akademik yang terkait dengan sistem pemberdayaan.
3. Menghidari sekolah “formal” seperti pendidikan diniyyah formal sehingga tidak terkesan adanya formalisasi pendidikan keagamaan.
4. Perlunya penekanan bagi sekolah-sekolah formal untuk mewajibkan siswa-siswinya mengikuti pendidikan diniyah sebagai solusi keterbatasan jam belajar materi agama di sekolah.
5. Penekanan fungsi pemerintah sebagai institusi yang memberikan pengakuan dan fasilitas dengan memberikan porsi pesantren sebagai sub system pendidikan yang memiliki spesifikasi khusus, bukan untuk melakukan intervensi dalam pendidikan diniyah.
6. Beberapa pasal dalam PP 55/2007 memerlukan revisi seperti tentang pendidikan diniyyah formal, pesantren, dll.
7. Kemandirian kurikulum pesantren dan madrasah diniyah sedapat mungkin agar tidak diganggu.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. PENDAHULUAN

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dalam Islam masalah halal-haram dalam hal makanan sangat diatur dengan ketat, sehingga orang muslim tidak boleh mengonsumsi makanan dengan tidak mengindahkan ketentuan halal atau haram. Pengonsumsian makanan haram bagi seorang muslim akan berakibat dosa dan dapat menyebabkannya tidak bahagia di dunia dan akhirat. Karena itu ketersediaan makanan halal menjadi yang primer bagi seorang muslim.

Sementara itu, produk-produk makanan yang ada di Indonesia bervariasi ada yang halal dan ada yang haram. Persoalannya, produk-produk tersebut sulit diidentifikasi halal-haramnya oleh masyarakat umum karena ketidakmengertian masyarakat tentang kandungan makanan dan/atau identifikasi zat-zat yang tergolong haram.

Karena itu, untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi konsumen muslim, keberadaan undang-undang tentang jaminan Produk Halal sangat penting dan akan memberikan ketentraman batin dalam mengonsumsi dan memakai produk yang sesuai dengan tuntutan Islam.

B. USULAN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Kewenangan untuk memberikan labelisasi halal ada pada pemerintah, sedang pelaksanaan tehnisnya pemerintah harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia (catatan: usul Majelis Ulama Indonesia mempunyai otoritas dan kewenangan di bidang fatwa kehalalan suatu produk sebagai pelaksanaan otoritas syar’i pemerintah mempunyai kewenangan bidang administrasi termasuk pemberian labelisasi halal).
3. Kewajiban produsen untuk menjamin produk halal diatur, dilaksanakan, dan diawasi secara efektif dalam berbagai peraturan perusahan sebagai tindak lanjut dan norma mandatory dalam undang-undang
4. Pelanggaran atas ketentuan undang-undang atas jaminan produk halal diberi sanksi baik bersifat administrative, ganti rugi dan atau pidana.
5. Selain tersedianya auditor halal yang akan melakukan audit suatu kehalalan suatu produk undang-undang harus juga mengatur adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pidana dalam Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum

DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

TINDAK LANJUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2008

TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

A. PENDAHULUAN

Ibadah haji merupakah salah satu ibadah dalam Islam yang memerlukan pengaturan yang komprehensip, hal ini mengingat pelaksanaan ibadah haji berada di luar negeri dan sangat jauh dari Indonesia. Ditambah lagi adanya keterkaitan antar lembaga dan kementerian yang memerlukan sinkronisasi kebijakan. Untuk memindahkan ratusan ribu jamaah baik saat keberangkatan atau kepulangan, serta mengatur pemondokan dan segala hal yang berkaitan dengan akomodasi bukanlah hal yang mudah. Juga berkaitan dengan minat umat Islam yang sangat tinggi untuk menunaikan ibadah haji perlu pengaturan yang jelas. Di sinilah diperlukannya keterlibatan pemerintah/Negara untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji.

Dengan adanya UU No. 13 Tahun 2008 sebagai revisi atas UU No. 19 Tahun 1999 merupakan sinyal positip dari pemerintah akan perlunya keterlibatan pemerintah dalam regulasi penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, keberadaan UU tersebut perlu dilihat lebih jauh apakah sudah memenuhi harapan umat Islam untuk terselenggaranya ibadah haji yang baik, biaya rasional dan akuntabel.

Karena itu, dalam Muktamar NU ke-32, muktarimin memberikan sikap, catatan-catatan, dan usulan sebagai kontribusi pemikiran untuk dapat terselenggaranya pelaksanaan ibadah haji dengan baik, dalam artian jamaah haji merasa puas terlayani dan mereka dapat beribadah dengan khusyu’ serta keungannya transparan dan akuntabel.

B. SIKAP MUKTAMIRIN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Guna untuk lebih efektifnya pengawasan penyelenggaraan ibadah haji sesuai ketetapan undang-undang perlu segera dibentuk komite pengawas haji Indonesia. Pemerintah segera mengusulkan keanggotaannya untuk diangkat oleh Presiden.
3. Mengingat persoalan yang menyangkut pengorganisasian pelaksanaan ibadah haji selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun maka dalam pelaksanaan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji diperlukan adanya Tim Penelitian dan Pengembangan Perhajian Nasional yang secara terus memantau, mengkaji dan meneliti perkembangan segala sesuatu yang menyangkut manajemen perhajian terutama di Arab Saudi sehingga pemerintah tidak selalu mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian kebijakan dengan perubahan peraturan yang terjadi sewaktu-waktu akibat ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang berdampak pada kesulitan yang dialami para calon jamaah haji.
4. Usulan dalam penetapan PP:

a. Kejelasan tentang kriteria perumahan dan katering jamaah haji yang layak.
b. Peningkatan Pelayanan Haji secara umum.
c. Ketentuan kesempatan berhaji.
d. Inti masalah haji karena tidak terpisahnya pelaksana dan pengawas.
e. Transparansi dana yang dikelola oleh Departemen Agama dan harus ada laporan yang jelas kepada masyarakat.
f. Dana abadi ummat diupayakan bisa digunakan untuk talangan setoran haji oleh jamaah.
g. Penertiban KBIH sampai pada batas pengawasan atas pembiayaan yang dikelola.
h. Perlunya pengawas independent (catatan: Butir ini dihapus karena fungsi ini telah ada pada Komite Pengawas Haji Indonesia yang merupakan badan independen menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008).
i. Dalam kaitan Pasal 11 ayat (2) dan (3) bila petugas Depag tidak ada yang memenuhi sayarat (kemampuan dibidang manasik haji) maka Menteri Agama dapat menunjuk Petugas Haji dari Ormas Islam.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum
Kembali ke atas