Selasa, 18 Mei 2010

BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32

BM Diniyah Maudluiyah


NASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH MAUDLU’IYYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA

DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010

بسم الله الرحمن الرحيم



DRAFT

BAHSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAUDLU'IYYAH

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA' KE-32

TH. 1431 H. / 2010 M.





1. FORMAT PENETAPAN HASIL BAHSUL MASAIL



Deskripsi Masalah

Isbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan hadis, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Isbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan, menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama dalam kutub mu’tamadah di lingkungan mazhab Imam Syafi’i.

Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem isbatul ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadis dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahsul masail, tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahsul masail NU sebelumnya.

Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).



Pertanyaan :

1. Apakah perlu mencantumkan ayat-ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahsul masail NU?

2. Jika memang diperlukan mencantumkan al-Quran dan al-Hadis, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya (al-Quran, al-Hadis, al-adillatul ukhra kemudian aqwalul ulama), ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran dan al-Hadis, dan al-adillatul ukhra?.

3. Sejauh mana muqaranatul madahib diperlukan dalam bahsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama di Surabaya?



Jawaban :

1. Musyawirun sepakat untuk mencantumkan ayat Al-Qur’an dan hadits, dengan ketentuan:

a. Wajhud dilalah-nya relevan dengan tema yang dibahas.

b. Ayat al-Qur’an / hadits yang dicantumkan adalah bagian pendapat ulama. Untuk itu ayat al-Qur’an atau al-hadits yang dicantumkan dilengkapi dengan tafsirnya atau syarhul hadits-nya.

2. Musyawwirun berbeda pendapat, antara mendahulukan ayat Al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra atau mendahulukan aqwalul ulama. Sebagian mengatakan, aqwalul ulama didahulukan, sebagian lain berpendapat, ayat al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra didahulukan.

3. Kesadaran akan pentingnya muqaranatul madzahib muncul dari prinsip wajibnya memilih qaul yang kuat atau lebih kuat dalilnya untuk diamalkan, karena untuk mengetahui bahwa suatu madzhab atau qaul memiliki dalil yang kuat atau lebih kuat diperlukan kegiatan muqâranah. Di pihak lain, kegiatan muqaranatul madzahib membuat seseorang menjadi kaya dengan aqwâl. Dan kekayaan aqwal bisa menjadi rahmah dengan adanya pilihan-pilihan dan jalan keluar dari himpitan situasi, dengan tetap berpegang pada prinsip عدم تتبع الرخص (tidak hanya mencari kemudahan semata)











2. DLAWABITHUL MASJID



Deskripsi Masalah

Secara etimologi, masjid berarti tempat sujud. Selain masjid, ada istilah lain; mushalla, langgar, surau, dan sebagainya, yang digunakan untuk arti yang sama: tempat untuk sholat yang identik dengan sujud.

Terminologi masjid inipun di daerah tertentu memiliki banyak sebutan, misalnya: Masjid biasa (la tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Jami’ (tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Raya, Masjid Agung, dll.

Meningkatnya ghirah umat Islam untuk menjalankan ibadah, melahirkan sebuah tempat yang asalnya aula, lapangan, atau tempat parkir menjadi tempat untuk sholat –bahkan juga untuk sholat jum’at–. Belum lagi banyaknya perkantoran, hotel, mall, stasiun, terminal yang mendirikan tempat ibadah yang difungsikan sebagai masjid, misalnya untuk jum’atan, i’tikaf, dsb.

Bahkan sekarang ini, dengan jumlah jama’ah yang makin banyak, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain terlalu dekat dan tidak memenuhi persyaratan jarak minimal di antara dua masjid sebagaimana dipersyaratkan imam sebagian mazhab.

Pertanyaan :



1. Apa kriteria suatu tempat layak disebut masjid, sehingga tempat itu memiliki keistimewaan, misalnya: untuk jum’atan, i’tikaf, tahiyattul masjid, larangan orang ber-hadas besar berdiam di dalamnya, dsb.?

2. Apakah tahiyyatil masjid berlaku bagi musholla, langgar, dan surau ?.

3. Bagaimana pandangan musyawirin terhadap persyaratan pendirian masjid dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8, tahun 2006, di mana persyaratan minimal untuk mendirikan tempat ibadah (termasuk masjid) harus ada 90 orang jama’ah?

Jawaban :



1. Status suatu tempat dianggap sebagai masjid yang memiliki beberapa kekhususan, seperti menjadi tempat i’tikaf, shalat sunnah tahiyyatil masjid, haramnya orang ber-hadats besar diam di dalamnya dan sebagainya terwujud dengan beberapa cara:

a. Dengan pernyataan dari seseorang dalam kapasitasnya sebagai malik (pemilik) atau nadzir (pengelola/pengawas), misalnya dia mengatakan: “tanah ini saya wakafkan sebagai masjid, atau saya jadikan masjid, atau sebagai tempat i’tikâf.

b. Dengan qorinah yang menunjukkan sebagai masjid walaupun tanpa pernyataan, misalnya : pembangunan dilakukan di atas tanah mawat (tanah tak bertuan) dengan niat masjid, atau dengan adanya pemungutan sumbangan untuk dana pembangunan masjid. Maka, dengan terlaksananya pembangunan, tempat dimaksud dengan sendirinya menjadi masjid.

c. Status masjid terjadi bila seorang menentukan sebuah tempat dan mempersilahkan orang untuk i’ktikaf di dalamnya, maka tempat dimaksud menjadi masjid.

2. Setiap tempat yang dijadikan tempat shalat adalah disebut masjid. Karenanya, apapun nama atau istilahnya sepanjang digunakan untuk tempat shalat adalah masjid, sehingga dianjurkan (masyru’) untuk melakukan shalat tahiyyatil masjid di temapt tersebut. Sementara itu sebagian kecil musyawirin berpendapat bahwa, mushala, langgar, dan surau tidak dianggap masjid. Sehingga tidak dianjurkan (ghairu masyru’) shalat tahiyyatil masjid.

3. Peraturan tersebut dapat dibenarkan dan wajib ditaati apabila mengandung kemaslahatan, karena pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan masjid di wilayahnya sebagaimana juga pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan tempat ibadah agama lain.

السنة المطهرة:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا" (رواه البخاري عن جابر؛ رقم 328، بيروت، دار ابن كثير، سنة 1407 مـ. / 1987 هـ.، طبعة 3، ج 1، ص 128)



قال ابن حجر العسقلاني في شرح هذا الحديث:

"جعلت لي الأرض مسجدا" أي كل جزء منها يصلح أن يكون مكانا للسجود, أو يصلح أن يبنى فيه مكان للصلاة. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، بيروت، دار المعرفة، سنة 1379، ج 1، ص 533)



أقوال العلماء :

قال شمس الدين الرملي: أنه لو سمر السجّادة صح وقفها مسجدا وهو ظاهر، ثم رأيت العناني في حاشيته على شرح التحرير لشيخ الإسلام قال: "وإذا سمر حصيرا أو فَروة في أرض أو مسطبة ووقفها مسجدا صح ذلك وجرى عليهما أحكام المساجد ويصح الاعتكاف فيهما ويحرم على الجنب المكث فيهما وغير ذلك"، اه. (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج, كتاب الاعتكاف, ج 3، ص 465)



قال محمد نووي الجاوي: ومثل الاعتكاف صلاة التحية فلو قال: أذنت في صلاة التحية في هذا المحل صار مسجدا لأنها لا تكون إلاّ في المسجد، ولو بنى البقعة على هيئة المسجد لا يكون البناء كناية وإن أذن في الصلاة فيه إلا في موات فيصير مسجدا بمجرد البناء مع النية لأن اللفظ إنما احتيج إليه لإخراج ما كان في ملكه عنه، وهذا لا يدخل في ملك من أحياه مسجدا فلم يحتج للفظ وصار للبناء حكم المسجد تبعا ويجري ذلك في بناء مدرسة أو رباط وحفر بئر وإحياء مقبرة في الموات بقصد السبيل. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 269)

وقال: وخرج بالمسجد المدارس والربط ومصلى العيد والموقوف غير مسجد فلا يحرم فيه ذلك، نعم إن لوّثته الحائض حرم من حيث تنجس حق الغير. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 34)











3. DLABITH AL-THIFL





Deskripsi Masalah

Menurut Undang-undang RI No.23 tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak”, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dalam undang-undang ini, definisi anak berpatokan pada kepastian usia (18 tahun) dan tidak melihat faktor lain, misalnya daya kemampuan fisik dan mental (psikis) untuk menetapkan akhir masa kanak-kanak berpindah menjadi dewasa (baligh), yaitu dengan keluarnya sperma bagi laki-laki dan telah menstruasi (bagi wanita).

Sementara itu dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, batas usia minimal nikah bagi wanita adalah 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun.

Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, Utsman Najati dalam kitabnya “al-Hadits al-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs”, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989, hal. 234), menyatakan, marhalah thufulah tercakup fase-fase perkembangan anak yang meliputi; 1) fase menyusui (marhalat radha’ah), usia 0-2 tahun, 2) fase awal usia anak (thufulah mubakkirah), usia sekitar 3-6 tahun, 3) fase tengah usia anak (thufulah mutawassithah), usia sekitar 6-9 tahun, dan 4) fase akhir usia anak (thufulah muta’akhirah), usia sekitar 9-12 tahun.

Dalam literatur lain disebutkan, fase kanak-kanak dimulai dari umur 3-6 tahun, atau di atas itu, yaitu hingga umur 9 tahun. Selain itu ada Fase Menjelang Remaja (Marhalat Qablal Hulm), Fase Remaja (Marhalatu Al-Hulm), dan kemudian memasuki Fase Dewasa (Marhalah Rusydah). Ringkasnya, seseorang disebut anak ketika usianya di bawah 9 tahun dan bukan 16 atau 18 tahun versi UU Perlindungan Anak.

Dari batasan usia anak – baik menurut syariat Islam maupun versi UU Perlindungan Anak – , maka semua tindakan dan perbuatan anak ketika anak melakukan tindak pidana atau kriminalitas konsekwensinya ditangung orang tuanya, belum boleh menikah, hak pilih, dll.





Pertanyaan :



1. Bagaimana definisi dan kriteria “anak” dalam perspektif Islam? Dan apa konsekuensi hukum ketika anak yang belum mencapai batasan baligh melakukan perbuatan hukum, misalnya: nikah, mu’amalah, jinayat, dan lain-lain?. Di samping itu apa pula konsekuensi hukum ketika batasan usia baligh dalam Islam berbenturan dengan batasan usia dalam hukum positif (UU Perlindungan Anak)



Jawaban :

1. Anak (ath-thifl) ialah manusia yang belum memasuki kondisi baligh (dewasa). Ada empat tanda, bahwa seseorang telah dianggap baligh.

Pertama: usia, dan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki berumur 15 tahun –menurut Syafi’iyyah dengan perbedaan dalam menentukan 15 tahun, sebagian berpendapat sempurna 15 tahun, sebagian yang lain berpendapat 14 tahun 6 bulan. Menurut Hanafiyah, untuk laki-laki ada dua riwayat, 19 tahun dan 18 tahun. Untuk perempuan juga terdapat dua riwayat, 18 tahun dan 17 tahun. Sedangkan Malikiyyah tidak mengakui usia sebagai batasan baligh.

Kedua: Hulm (keluar mani karena mimpi, senggama, atau lainnya) setelah sempurna usia 9 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Ketiga: Haidl (menstruasi) dan hamil. Haidl sebagai batasan baligh setelah sempurna usia 9 tahun. Sedangkan hamil apabila umur kandungan 6 bulan lebih dalam usia 9 tahun.

Keempat: Inbat (tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan). Dalam perspektif Islam inbat tidak dianggap sebagai batasan baligh meskipun dalam budaya kalangan kafir hal itu dianggap sebagai batasan baligh. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa inbat dianggap juga sebagai batasan baligh.

القرآن الكريم :

﴿وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾ (النور: 59)

قال القرطبي :

والمعنى : أن الأطفال أمروا بالإستئذان فى الأوقات االثلاثة المذكورة وأبيح لهم الأمر في غير ذلك كما ذكرنا, ثم أمر تعالى في هذه الآية أن يكونوا إذا بلغوا الحلم على حكم الرجال فى الإستئذان في كل وقت. (الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 12، ص 308)

وقال:

وقال مالك وأبو حنيفة وغيرهما: لا يحكم لمن لم يحتلم حتى يبلغ ما لم يبلغه أحد إلا احتلم, وذلك سبع عشرة سنة فيكون عليه حينئذ الحد إذا أتى ما يجب عليه الحد, وقال مالك مرة: بلوغه بأن يغلظ صوته وتنشق أرنبته . وعن أبي حنيفة رواية أخرى: تسع عشرة سنة, وهي الأشهر، وقال فى الجارية: بلوغها لسبع عشرة سنة وعليها النظر، وروى الؤلئي عنه : ثمان عشرة سنة. ((الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 5، ص 35)



﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ﴾ (النساء: 6)



وقال البيضاوي:

{حتى إِذَا بَلَغُواْ النّكَاحَ} حتى إذا بلغوا حد البلوغ بأن يحتلم ، أو يستكمل خمس عشرة سنة عندنا لقوله عليه الصلاة والسلام: " إذا استكمل الولد خمس عشرة سنة، كتب ماله وما عليه وأقيمت عليه الحدود " وثماني عشرة عند أبي حنيفة رحمه الله تعالى. وبلوغ النكاح كناية عن البلوغ، لأنه يصلح للنكاح عنده. (أنوار التنـزيل وأسرار التأويل / تفسير البيضاوي، ناصر الدين بن عمر بن محمد البيضاوي، بيروت، دار الفكر، سنة 1416 هـ. / 1996 مـ.، ج 2، ص 149)



وقال الخازن :

وأما الذي يختص بالنساء فهو الحيض والحبل فإذا حاضت الجارية بعد استكمال تسع سنين حكم ببلوعها وكذلك إذا ولدت حكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل (لباب التأويل في معاني التنزيل / تفسير الخازن، علاء الدين علي البغدادي الشهير بالخازن، بيروت، دار الفكر، سنة 1399 هـ. / 1979 مـ.، ج 1، ص 480)



وقال البغوي :

فالبلوغ يكون بأحد {أشياء أربعة} (2) ، اثنان يشترك فيهما الرجال والنساء، واثنان تختصان بالنساء:

فما يشترك فيه الرجال والنساء أحدهما السن، والثاني الاحتلام، أما السن فإذا استكمل المولود خمس عشرة سنة حكم ببلوغه غلامًا كان أو جارية، لما أخبرنا عبد الوهاب بن محمد الخطيب، أنا عبد العزيز بن أحمد الخلال، أنا أبو العباس الأصم، أنا الربيع، أنا الشافعي، أخبرنا سفيان بن عيينة عن عبد الله بن عمر عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: عُرضْتُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أحد وأنا ابن أربع عشرة سنة، فردَّني، ثم عُرضتَ عليه عام الخندق وأنا ابن خمس عشرة سنة فأجازني (3) ، قال نافع: فحدثتُ بهذا الحديث عمر بن عبد العزيز، فقال: هذا فرق بين المقاتلة والذريّة، وكتب أن يفرض لابن خمس عشرة سنة في المقاتلة، ومن لم يبلغها في الذرية. وهذا قول أكثر أهل العلم.

وقال أبو حنيفة رحمه الله تعالى: بلوغ الجارية باستكمال سبع عشرة، وبلوغ الغلام باستكمال ثماني عشرة سنة.

وأما الاحتلام فنعني به نزول المني سواء كان بالاحتلام أو بالجماع، أو غيرهما، فإذا وجدت ذلك بعد استكمال تسع سنين من أيهما كان حُكم ببلوغه، لقوله تعالى: {وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} وقال النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ في الجزية حين بعثه إلى اليمن: "خُذْ من كل حالم دينارا" (1) .

وإما الإنبات، وهو نبات الشعر الخشن حول الفرج: فهو بلوغ في أولاد المشركين، لما روي عن عطية القرظي قال: كنت من سبي قريظة، فكانوا ينظرون فمن أنبت الشعر قتل، ومن لم ينبت لم يقتل، فكنت ممن لم ينبت (2) .

وهل يكون ذلك بلوغًا في أولاد المسلمين؟ فيه قولان، أحدهما: يكون بلوغًا كما في أولاد الكفار، والثاني: لا يكون بلوغا لأنه يمكن الوقوف على مواليد المسلمين بالرجوع إلى آبائهم، وفي الكفار لا يوقف على مواليدهم، ولا يقبل قول آبائهم فيه لكفرهم، فجعل الإنبات الذي هو أمارة البلوغ بلوغًا في حقهم.

وأما ما يختص بالنساء: فالحيض والحَبَل، فإذا حاضت المرأة بعد استكمال تسع سنين يُحكم ببلوغها، وكذلك إذا ولدت يُحكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل. (معالم التنزيل / تفسير البغوي، الحسين بن مسعود البغوي، بيروت، دار المعرفة، سنة 1407 هـ. / 1987 هـ.، طبعة 2، ج 1، ص 394-395)



2. Perbedaan pendapat di antara fuqahâ`, tentang batasan usia bâligh akan menjadi rahmat, bila masing-masing pendapat diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai, misalnya dalam konteks taklîf (beban-beban kewajiban Agama), digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks pernikahan dan perlindungan anak digunakan pendapat yang mengatakan 18 atau 19 tahun









4. KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN



Deskripsi Masalah

“Ekonomi kerakyatan” sebagai sebuah slogan yang diusung oleh sebagian Capres-Cawapres 2009 maksudnya adalah merupakan tatanan ekonomi yang berpihak kepada rakyat secara menyeluruh –terutama rakyat miskin–.

Sementera itu, sejarah mencatat, para Ulama sejak masa-masa awal sudah mempunyai gerakan perekonomian yang disebut dengan Nahdlatut Tujjar yang kemudian menjadi ruh perjuangan Nahdlatul Ulama dalam bidang ekonomi. Lembaga ini berfungsi untuk membangkitkan serta mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam sektor perdagangan –di samping pertanian – .

Di tengah kelesuan ekonomi yang berkepanjangan, dan di tengah persaingan dalam perdagangan bebas, muncullah harapan rakyat untuk segera diterapkan tatatan ekonomi kerakyatan. Sehingga, konsep ekonomi kerakyatan sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, bahkan para capres-cawapres dan cagub-cawagub dalam kampanyenya sering pula menjanjikan akan menerapkan ekonomi kerakyatan tersebut.



Pertanyaan :



1. Bagaimanakah rumusan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konsep Islam ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk ekonomi liberal yang tidak selaras dengan konsep Islam ?



Jawaban :



Dalam Islam tidak dikenal istilah ekonomi keumatan, tetapi konsep Islam mengenai ekonomi mengacu kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Bukti konkritnya adalah ajaran-ajaran filantropi dalam Islam seperti zakat, shadaqah, dan infak. Dengan demikian:

Ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada maqashid al-syari’ah (tujuan syari’at) dan ahkam al-syari’ah (aturan-aturan syariat).

Secara umum, tujuan syari’at adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, zhahir-batin, dunia-akhirat. Dengan demikian, ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang menjamin terwujudnya kesejahteraan ekonomi secara “seimbang dan bebas dari ketimpangan” (tafAawut). Keseimbangan ekonomi (tawazun iqtishady) akan tercipta apabila distribusi kekayaan berjalan dengan benar.

القرآن :

﴿مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: 7)



قال الحسين بن مسعود البغوي :

والدولة اسم للشيء الذي يتداوله القوم بينهم بين الأغنياء منكم يعني بين الرؤساء والأقوياء معناه كيلا يكون الفي دولة بين الأغنياء والأقوياء فيغلبوا عليه الفقراء والضعفاء وذلك أن أهل الجاهلية كانوا إذا اغتنموا غنيمة أخذ الرئيس ربعها لنفسه وهو المرباع ثم يصطفي منها بعد المرباع ما شاء فجعله الله لرسوله صلى الله عليه وسلم يقسمه فيما أمر به ثم قال: (وَمَا آتَاكُمْ) أعطاكم الرسول من الفيء والغنيمة (فَخُذُوْهُ), (وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ) من الغلول وغيره (فَانْتَهُوا). وهذا نازل في أموال الفيء وهو عام في كل ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم ونهى عنه. (معالم التنـزيل / تفسير البغوي؛ الحسين بن مسعود البغوي، بيروت, دار المعرفة, ج 4، ص 318)



قال إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي الدمشقي:

وقوله تعالى: ﴿كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ أي جعلنا هذه المصارف لمال الفيء لئلا يبقى مأكلة يتغلب عليها الأغنياء ويتصرفون فيها، بمحض الشهوات والآراء، ولا يصرفون منه شيئًا إلى الفقراء. وقوله: ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾ أي مهما أمركم به فافعلوه، ومهما نهاكم عنه فاجتنبوه، فإنه إنما يأمر بخير وإنما ينهى عن شر. (تفسير القرآن العظيم / تفسير ابن كثير؛ بيروت, دار الفكر, ج 4, ص 337)



Misi menciptakan keseimbangan ekonomi dan perang melawan ketimpangan tidak bermakna bahwa kepemilikan kekayaan harus sama dan rata di antara umat, karena tidak seperti sistem ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan, Islam memberi kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki harta kekayaan dengan syarat, kekayaan itu diperoleh dengan jalan yang benar, di-tasharruf-kan dengan cara yang benar, dan ada jatah untuk fuqara`, masakin dan mereka yang berhak memperolehnya.

Prinsip dan ajaran Islam yang menjamin terciptanya keseimbangan ekonomi sebagai wujud dari sistem ekonomi keumatan adalah sebagai berikut:

1- تقديم المصلحة العامة على المصلحة الخاصة

2- تقديم الأحوج على الأحوج

3- التعادل فى التبادل

4- الغنم بالغرم

5- تحريم الربا فى القروض والبيوع

6- منع الإحتكار

7- منع الغبن الفاحش فى العقود

8- تحريم القمار

9- منع كنز الذهب والفضة

10- النهي عن الإرتشاء (الرشوة)

11- الترهيب من الطمع والجشع

12- الترهيب من البخل

13- الترغيب فى القرض الحسن

14- الترغيب فى التبرع (الصد قة, الهبة, الهد ية, الوقف)

15- الترغيب فى التراحم بين المسلمين (الناس)

16- وجوب التزام الدولة بإعداد العمل وإعطاء العاجزين من أموالها

17- تحميل الموسرين بعبء تموين المعسرين والمحتاجين



















5. DLAWABITH ITTIHAD AL-MAJLIS



Deskripsi masalah

Secara umum, istilah Ittihad al-Majlis berarti kesatuan tempat, dan itu besar sekali pengaruhnya bagi sebuah transaksi / akad jual beli ( dalam sisi ijab-kabul, maupun hak khiyar).

Seiring dengan mobiltas massa dan perkembangan teknologi saat ini, konsep ittihad al-majlis dalam jual beli mengalami pergeseran, banyak terjadi transksi / akad jual beli tidak dalam satu tempat, seperti jual beli eksport-impor dengan menggunakan media telekomunikasi modern, misalnya, via teleconference, telepon, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS) maupun faksimili?.

Pada prinsipnya, setiap akad harus jelas ijab dan kabulnya, dan media komunikasi modern ternyata mempu memberikan jaminan kejelasan antara ijab dan kabul



Pertanyaan :

1. Bagaimana pandangan Islam menyikapi akad jual-beli dengan menggunakan media seperti tersebut di atas?

2. Apa batasan (dhabith) itthadul majlis, apakah satu tempat, satu waktu, atau satu session?

3. Kapan muta’aqidain (kedua pihak yang bertransaksi) dikatakan berpisah, sehingga gugur hak khiyar al-majlis ?



Jawaban :

1. Dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan komunikasi, proses akad jual beli dan akad-akad lainnya bisa dilakukan dari jarak jauh melalui telepon, teleconferens, e-mail, SMS, dan lain-lain. Akad jual beli dengan cara demikian dianggap fi hukmi ittihadil majlis sehingga akad jual belinya sah selama tidak unsur gharar dan dlarar. Ketentuan itu terpenuhi dalam transaksi / akad jarak jauh dengan menggunakan sarana komunikasi modern, karena masing-masing mutabayiain mengenali dan memahami lawannya serta mengetahui obyeknya (al-mabi’) sehingga tidak terjadi gharar, dengan begitu akan terealisasi ijab dan qobul yang taradlin.

2. Ittihadul Majlis bisa bermakna ittihad al-zaman (satu waktu), ittihad al-makan (satu lokasi), dan ittihad al-haiah (satu posisi). Apabila ittihâd al-majlis menjadi syarat sahnya jual beli, maka artinya ijab dan qabul harus berlangsung dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan, tempat yang satu, dan posisi yang satu, dan masing-masing muta’aqidain memahami ijab/qabul lawannya. Perbedaan tempat yang disatukan dengan media komunikasi modern, membuat seolah-olah dua tempat yang berjauhan itu bisa dianggap menyatu (ta’addud al-makan fi manzilat ittihad al-makan).

3. Ittihadul majlis dianggap berakhir apabila:

a. Alat komunikasi yang menghubungkan muta’aqidain berakhir.

b. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berpaling (i’radl) dari ijab.

c. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berubah posisi, seperti asalnya duduk kemudian berdiri.

d. Sukutun thawilun (terdiam lama)

e. ‘Urf (dalam adat kebiasaan) dianggap berakhir

f. Apabila salah satu di antara muta’aqidain melakukan kegiatan lain, seperti makan kecuali kalau hanya sekedar satu suapan.



Dasar Penetapan :

أقوال العلماء :



قال يحيى بن شرف النووي :

فرع المراد بالمجلس الذي يشترط فيه الاعطاء مجلس التواجب وهو ما يحصل به الارتباط بين الايجاب والقبول، ولا نظر إلى مكان العقد. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 381)

وقال :

الركن الخامس الصيغة ولا بد منها ويشترط أن لا يتخلل بين الإيجاب والقبول كلام أجنبي فإن تخلل كلام كثير بطل الارتباط بينهما وإن تخلل كلام يسير لم يضر على الصحيح. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 395)

قال علاء الدين الكاساني :

فصل: وأما الذي يرجع إلى مكان العقد فواحد وهو اتحاد المجلس بأن كان الإيجاب والقبول في مجلس واحد فإن اختلف المجلس لا ينعقد حتى لو أوجب أحدهما البيع فقام الآخر عن المجلس قبل القبول أو اشتغل بعمل آخر يوجب اختلاف المجلس ثم قبل لا ينعقد لأن القياس أن لا يتأخر أحد الشطرين عن الآخر في المجلس لأنه كما وجد أحدهما انعدم في الثاني من زمان وجوده فوجد الثاني والأول منعدم فلا ينتظم الركن إلا أن اعتبار ذلك يؤدي إلى انسداٍٍٍد باب البيع فتوقف أحد الشطرين على الآخر حكما وجعل المجلس جامعا للشطرين مع تفرقهما للضرورة وحق الضرورة يصير مقتضيا ثم اتحاد المجلس فإذا اختلف لا يتوقف وهذا عندنا وعند الشافعي رحمه الله الفور مع ذلك شرط لا ينعقد الركن بدونه. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع، علاء الدين الكاساني، بيروت، دار الكتاب العربي، السنة 1982 مـ.، الطبعة الثانية، ج 5، ص 137)

قال عبد الرحمن الجزيري :

رابعها: أن تكون الصيغة مسموعة للعاقدين فلا بد أن يسمع كل من العاقدين لفظ الآخر إما حقيقة كما إذا كانا حاضرين أو حكما كالكتاب من الغائب لأن قراءته قامت مقام الخطاب هنا. (الفقه على المذاهب الأربعة, بيروت, دار الفكر، سنة ......, ط ...، دار الفكر, مبحث شروط النكاح, ج ..., ص ...)



قال الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي :

اتحاد المجلس إذا كان العاقدان حاضرين: وهو أن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد، بأن يتحد مجلس الإيجاب والقبول، لا مجلس المتعاقدين؛ لأن شرط الارتباط اتحاد الزمان، فجعل المجلس جامعا لأطرافه تيسيراً على العاقدين. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط صيغة العقد, ج ...., ص ....)

وقال:

اتصال القبول بالإيجاب: بأن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد إن كان الطرفان حاضرين معا، أو في مجلس علم الطرف الغائب بالإيجاب. ويتحقق الاتصال بأن يعلم كل من الطرفين بما صدر عن الآخر بأن يسمع الإيجاب ويفهمه، وبألا يصدر منه ما يدل على إعراضه عن العقد، سواء من الموجب أو من القابل. ومجلس العقد: هو الحال التي يكون فيها المتعاقدان مشتغلين فيه بالتعاقد. وبعبارة أخرى: اتحاد الكلام في موضوع التعاقد. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط الإيجاب والقبول, ج ...., ص ....)



6. DLAWABITH AL-KUFR DAN BID’AH



Deskripsi Masalah

Dalam sebuah hadis “man qôla li akhîhi anta kâfirun, fahuwa kâfir”, hadis tersebut seharusnya membuat kita lebih berhati-hati untuk menghukumi kafir pada sesama muslim hanya karena faham dan penafsiran terhadapa ajaran Islam, apalagi ajaran yang multi interpretasi. Kenyataannya aksi pengkafiran tehadap kelompok atau golongan yang dipandang sebagai lawan dan berbeda faham menjadi makin merebak.

Sikap pengkafiran ini lahir sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa menuduh orang lain kafir berarti menghalalkan harta benda dan darahnya.

Sementara itu dalam hadits yang lain “kullu bid’atin dlolâlah wa kullu dlolâlah fi an-nâr”, Hadis ini juga dipakai sebagai dasar untuk melegitimasi tindakan orang-orang yang meng-kafir-kan atau mem-“bid’ah” kan siapa saja yang sejalan sejalan dengan pemahamannya, bahkan untuk masalah sederhana, seperti “tidak memelihara jenggot”, “tidak memotong celana diatas mata kaki” dll.



Pertanyaan :

1. Apa saja parameter sebagai batasan kafir dalam pandangan Islam?

2. Perbuatan apa saja yang menyebabkan sesorang itu masuk dalam kategori kafir?

3. Apa saja kriteria bid’ah, apakah bid’ah juga identik dengan kafir ?.



Jawaban :

Seseorang dianggap kafir apabila memenuhi salah satu kriteria dibawah ini :

a- Orang-orang yang mengingkari salah satu rukun iman yang enam ( iman kepada Alloh, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rosul-Rosul-Nya, kepada hari Qiyamat, kepada qadla’ dan qadar) salah satu rukun Islam yang lima (mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, menunaikan ibadah haji).

b- Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan syari’ah (al-Qur’an dan al-Sunnah).

c- Meyakini dan mempercayai turunnya wahyu setelah al-Qur’an.

d- Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an.

e- Melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

f- Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

g- Menghina , melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

h- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rosul terakhir.

i- Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak lima waktu.

j- Mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.

k- Orang-orang yang mengingkari ajaran yang ma’lȗmun min al-dȋn bi al-dlarȗrah.







7. RELEVANSI QONUN WADL'I & HUKUM SYAR'I



Diskripsi Masalah

Sebagai orang yang beragama, maka tentunya kita mengakui aturan-aturan yang ditetapkan oleh Shohibusy Syari’ah. Tetapi juga sebagai manusia yang berinteraksi dengan sesama, disamping juga sebagai warga-negara tentunya ada aturan-aturan yang juga mengikat kita. Aturan-aturan dibuat oleh sesama makhluk itulah yang kemudian dikenal dengan istilah “hukum positif”(al-qonun al-wadl’i).

Seperti yang terjadi dinegara kita. Pemerintah telah memberlakukan bagi ummat Islam hukum positif (al-qonun al-wadl'i)) dengan diberlakukannya – diantaranya – Undang-Undang No.1 Th.1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Th.1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Th.1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Perkawinan, Kewarisan, Wakaf dan Hibah, Undang-Undang No.41 Th.2004 Tentang Wakaf, dan Undang-Undang No.23 Th.2002 Tentang Perlindungan Anak, dan undang-undang lainnya.

Dalam beberapa undang-undang tersebut di atas terdapat berbagai ketentuan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan hukum syar'i. Misalnya, dalam Undang-Undang Perkawinan, terdapat ketentuan mengenai batasan umur bagi calon mempelai putera 19 tahun dan mempelai puteri 16 tahun, talak hanya bisa didinyatakan jatuh bila diikrarkan di depan sidang pengadilan. Demikian pula di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Kewarisan, terdapat ketentuan mengenai anak angkat memperoleh hibah sebesar seperempat dari jumlah harta warisan.

Menghadapi kenyataan ini, masyarakat Islam berada dalam keraguan untuk menerima dan menerapkan berbagai ketentuan dalam qonun wadl'i yang berbeda atau bertentangan dengan hukum syar'i. Bahkan mereka tetap menginginkan dan berupaya untuk dapat menerapkan hukum syar'i. Namun keinginan dan upaya tersebut terbentur dengan diberlakukannya hukum positif sebagaimana di atas.

Pertanyaan :

1. Bagaimanakah hubungan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?

2. Ketentuan manakah yang harus diambil ketika terdapat perbedaan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?.

Jawaban :

Posisi hukum positif dihadapan hukum syar’i ada beberapa kemungkinan :

1. Hukum positif menetapkan sesuatu yang tidak diperoleh petunjuk nash al-Qur’an secara sharih (eksplisit), bahkan kadang-kadang sengaja didiamkan oleh Syari’, dan itu mengimplisitkan kreasi mengatur “al-maskut 'anhu” oleh ummat Muhammad SAW, maka hukum positif seperti ini bisa diterima dan diikuti, sesuai dengan penegasan Usman ibn Affan ra. :



الأثر :

قال عبد المحسن العباد :

وقد بين أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه عظم منـزلة السلطان وما يترتب على وجوده من الخير الكثير، ومن حصول المصالح ودرء المفاسد، وذلك في قوله رضي الله عنه: "إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن"، لأن من الناس من يقرأ القرآن ويرى القوارع والزواجر ومع ذلك لا تحرك ساكنا في قلبه، ولا تؤثر عليه، ولكنه يخاف من سلطة السلطان، ومن بطش وقوة السلطان. (شرح سنن أبي داود، عبد المحسن العباد، ج 1، ص 2)



القاعدة :



"تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَة"، هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال: "مَنْزِلَةُ اْلإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ". قلت: وأصل ذلك ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه، قال: حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال: قال عمر رضي الله عنه: "إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ". (الأشباه والنظائر، عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت، دار الكتب العلمية، سنة 1403 هـ.، طبعة 1،ج 1، ص 121)



2. Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syar’i, maka dalam posisi ini harus ditolak.

السنة المطهرة :



عن عبد الله رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ" (متفق عليه - واللفظ للبخاري، رقم 6725، بيروت، دار ابن كثير, سنة 1407 هـ. / 1987 مـ.، طبعة 3، ج 6، ص 2612، )



قال ابن حجر العسقلاني :

قوله (فيما أحب وكره) في رواية أبي ذر "فيما أحب أو كره". قوله (ما لم يؤمر بمعصية) هذا يقيد ما أطلق في الحديثين الماضيين من الأمر بالسمع والطاعة ولو لحبشي, ومن الصبر على ما يقع من الأمير مما يكره, والوعيد على مفارقة الجماعة. قوله (فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة) أي لا يجب ذلك بل يحرم على من كان قادرا على الامتناع, وفي حديث معاذ عند أحمد "لا طاعة لمن لم يطع الله". وعنده وعند البزار في حديث عمران بن حطين والحكم ابن عمرو الغفاري "لا طاعة في معصية الله" وسنده قوي, وفي حدث عبادة بن الصامت عند أحمد والطبراني "لا طاعة لمن عصى الله تعالى" وقد تقدم البحث في هذا الكلام على حديث عبادة في الأمر بالسمع والطاعة "إلا أن تروا كفرا بواحا" بما يغني عن إعادته وهو في "كتاب الفتن" وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا" فيجب على كل مسلم القيام في ذلك, فمن قوي على ذلك فله الثواب, ومن داهن فعليه الإثم, ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، أحمد بن علي بن حجر العسقلاني، بيروت، دار المعرفة، ج 13, ص 123)



عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ". (رواه البخاري)



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ" (رواه الطبراني عن عمران بن حصين رضي الله عنه، المعجم الكبير, رقم 381, بيروت, دار الفكر، ج 18، ص 170)

3. Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i, atau hukum positif menetapkankan sesuatu yang ditetapkan hukum syar’i baik dalam perkara wajib atau mandub, maka wajib ditaati, sedang jika menetapkan sesuatu yang mubah, apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib ditaati.

قال محمد نووي الجاوي :

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإن أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة وجب، بخلاف ما إذا أمر بمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة. (نهاية الزين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 112)



قال الدسوقي :

واعلم أن محل كون الإمام إذا أمر بمباح أو مندوب تجب طاعته إذا كان ما أمر به من المصالح العامة. (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير، محمد عرفه الدسوقي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 407)



Makasar, ……..…………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Maudlu’iyyah,



Ketua,

KH. Drs. HM. Masyhuri Naim, MA

Sekretaris,

H. Drs.Arwani Faisal, MA



Anggota:

1. KH. Ma’ruf Amin
2. KH. DR.Maghfur Usman
3. KH. DR. Malik Madany, MA
4. KH. Afifuddin Muhajir
5. Prof. DR.H. Fathurrahman Rauf


sumber: muktamar.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar